Lima belas tahun ada di Jogja, saya selalu tidak mau mencoba 'Tembus
Dua Beringin' di Alun Alun Kidul. Sepele saja alasan saya: Dalam
bayangan saya, saat saya berhasil melewati antara dua beringin itu,
pasti pohonnya rubuh menimpa saya. Dan saya wafat.
Selain itu,
saya terus dirongrong oleh ucapan teman saya yang mengatakan jika
melakukan ritual Tembus Beringin sudah layak dapat cap musyrik dan
kafir. Ngeri jadinya. Saya tidak mau dong masuk neraka yang dari kecil
kyai saya bercerita jika tempat itu berkumpul orang orang jahat yang
dibakar kekal dalam penderitaan.
Semakin ke sini saya
bersungut sungut tiap lewat Alun Alun Kidul menemui orang orang ramai
ngakak sembari mengulang ulang terus usaha Tembus Beringin. Saya
membatin, 'Calon arang neraka nih mereka! Tunggu saja, jadi kerak selama
lamanya?!'
Namun, saya tetaplah manusia yang punya rasa
penasaran. Liburan Natal kemarin saya memaksa diri untuk mencoba Tembus
Beringin. Pikiran tentang nanti jadi kafir atau musyrik saya tanggalkan
sore itu ketika Jogja cerah setelah empat hari diguyur hujan tanpa
henti.
'Kalaupun aku masuk neraka,' saya mengambil napas dalam dalam. 'Kumpulkan saya dengan Marlyn Marilyn Monroe
yang hedon. Atau Mao Zedong yang komunis. Saya pengin mewawancara
mereka dan menulis buku di sana! Pasti ada hal hal baik dari mereka saya
yakin!'
***
Konon, kalau berhasil menembus dua
beringin, keinginan kita akan terkabul. Saya percaya ini. Ya,
terwujudnya cita cita menembus dua beringin, pikir saya. Sudah mau
mencoba alhamdulillah, saya tidak terlalu memedulikan hasil dari
kegiatan ini. Proses lebih penting ketimbang rengkuhan.
'Berapa, Pak?' tanya saya ke tukang sewa penutup mata.
Si bapak menunjuk tulisan yang ada di antara puluhan penutup mata yang
menggantung di depannya. Lima ribu rupiah. Terbersit kenapa saya tidak
membawa selendang peninggalan emak di kontrakan. Tapi saya langsung
mengganti pikiran jika inilah waktunya untuk berbagi rezeki. Saya
mencomot satu penutup mata dan siap beraksi.
***
Berkali kali saya mencoba dari jarak paling jauh juga terdekat. Namun,
saya tidak mampu menuntaskannya. Kesalnya minta ampun sampai saya
berhenti sejenak, duduk di sebelah tukang teh botol.
'Pak, susah ya!' seru saya sambil menyeruput teh. Saya melap kening saya yang berkeringat.
'Anda kurang konsentasi, Mas.' jawabnya sederhana. Ia melayani pembeli lain dan mengacuhkan saya.
Wah, benar! Ini bukan karena unsur magis yang kata orang orang Dua
Beringin ini dulunya mampu menahan laju Tentara Penjajah Belanda yang
ingin masuk ke keraton. Jebakan sudah dibuat keraton agar keagungannya
tetap terjaga di mata masyarakatnya. Dua Beringin ini ialah sebuah cara
agar keraton eksis dengan melenakannya lewat hiburan berkedok menembus
beringin.
Tapi karena, sekali lagi, saya manusia, saya masih
pengin sekali lagi mencoba. Kalau sebelumnya memang konsentrasi saya
kurang dan seringnya membelok ke arah kanan dan menubruk kurungan
berwujud pagar beton, kali ini harus berhasil.
'Aku harus berjalan lebih tegas, tidak berhenti di tengah jalan!' seru saya dalam hati.
Sebelumnya saya mencermati jika seseorang yang ingin menembus beringin
berhenti dalam jalannya, ia akan bimbang mengambil putusan melanjutkan;
apakah ke kiri, atau ke kanan, atau yang lain. Musti yakin!
'Baik, kali ini harus berhasil!'
Saya berteriak dan menapakkan kaki per kaki menuntaskan usaha Tembus Dua Ringin Kurung.
Post a Comment