Tubuhku mulai menjadi Mumi
Satu keputusan yang malam ini kuluncurkan: Biar Tuhan yang menentukan seluruh jalan hidupku. Penat yang kurasakan saat ini sudah diujung tanduk. Ingin kulepaskan, dan aku tak mempunyai kekuatan sepeserpun untuk bertindak lagi. Hidupku jenuh, seluruh mata memelototiku tajam. Aku tak mampu menerima tekanan yang diluar batas kemampuanku. Mulai detik ini, aku ingin menikmati hidup dengan aliran yang tak kurecoki lagi. Tuhan mengambil jalan hidupku seluruhnya.
Terlalu sombong, itulah yang terjadi. Aku seakan menerima semua hasil dari besarnya mulut, yang kumoncongkan agar orang-orang mendengarkan semua ucapanku. Dan hasil yang kuterima adalah rasa kecut. Aku terjebak di dalam sebuah rasa yang saat ini tak mampu kutekan. Ia meninggi, menukik, dan menembus jantung, jantungku sendiri.
Seni membunuhku. Aku tak mampu meraup semua mimpiku. Kocar kacir dan menghindariku satu persatu. Dan tak menyapaku kembali.
Aku terlalu angkuh, benar-benar egois. Justru terhadap diriku sendiri. Orang lain tak akan pernah terpengaruh apapun atas semua yang kulakukan. Tak mungkin mereka peduli. Yang ada, aku menyiksa diri sendiri di dalam kurungan besi. Pertama aku menyenanginya, perlahan-lahan aku terinjak oleh sepasang kaki, melesak aku ke dalam tanah. Hasrat itu menikamku, menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Aku tak tahu mengapa semua angan yang kulontarkan ke langit justru beroleh hujan air keras. Aku menjadi mumi, sekali tendang, tubuhku yang telah menjadi debu bertaburan dan dihempas angin puyuh.
"Khianat!" sebuah suara terdengar. Keras dan menyasar diriku.
"Pecundang!" Dari sudut lain, aku makin tak keruan. Mati rasa.
"Sinting!" Makin menyeruak beban batin ini.
"Dasar orang bodoh!" Semakin banyak yang menerkamku.
"Penjilat, lintah darat!" Terus, terus, dan terus.
Aku mengaku salah. Tak kuat kumenanggung. Aku kalah. Biarlah aku mengakui kesalahanku. Biar Tuhan yang mengatur hidupku, setelah pengakuan ini.
Impian-impian itu biar terbang, biarlah mereka mencari pesona lain yang layak. Bukan aku, orang di ujung sana, di sekitarku. Di pucuk-pucuk pohon hijau yang tak gersang jiwanya. Biar, biar, dan biar. Aku rela melepas semuanya.
Saatnya aku menjadi orang yang lepas dari mimpi. Aku ingin Tuhan menyerahkan mimpi baru bagiku. Dan aku menerjemahkannya semampuku. Sebatas kemampuanku belaka.
Terlalu sombong, itulah yang terjadi. Aku seakan menerima semua hasil dari besarnya mulut, yang kumoncongkan agar orang-orang mendengarkan semua ucapanku. Dan hasil yang kuterima adalah rasa kecut. Aku terjebak di dalam sebuah rasa yang saat ini tak mampu kutekan. Ia meninggi, menukik, dan menembus jantung, jantungku sendiri.
Seni membunuhku. Aku tak mampu meraup semua mimpiku. Kocar kacir dan menghindariku satu persatu. Dan tak menyapaku kembali.
Aku terlalu angkuh, benar-benar egois. Justru terhadap diriku sendiri. Orang lain tak akan pernah terpengaruh apapun atas semua yang kulakukan. Tak mungkin mereka peduli. Yang ada, aku menyiksa diri sendiri di dalam kurungan besi. Pertama aku menyenanginya, perlahan-lahan aku terinjak oleh sepasang kaki, melesak aku ke dalam tanah. Hasrat itu menikamku, menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Aku tak tahu mengapa semua angan yang kulontarkan ke langit justru beroleh hujan air keras. Aku menjadi mumi, sekali tendang, tubuhku yang telah menjadi debu bertaburan dan dihempas angin puyuh.
"Khianat!" sebuah suara terdengar. Keras dan menyasar diriku.
"Pecundang!" Dari sudut lain, aku makin tak keruan. Mati rasa.
"Sinting!" Makin menyeruak beban batin ini.
"Dasar orang bodoh!" Semakin banyak yang menerkamku.
"Penjilat, lintah darat!" Terus, terus, dan terus.
Aku mengaku salah. Tak kuat kumenanggung. Aku kalah. Biarlah aku mengakui kesalahanku. Biar Tuhan yang mengatur hidupku, setelah pengakuan ini.
Impian-impian itu biar terbang, biarlah mereka mencari pesona lain yang layak. Bukan aku, orang di ujung sana, di sekitarku. Di pucuk-pucuk pohon hijau yang tak gersang jiwanya. Biar, biar, dan biar. Aku rela melepas semuanya.
Saatnya aku menjadi orang yang lepas dari mimpi. Aku ingin Tuhan menyerahkan mimpi baru bagiku. Dan aku menerjemahkannya semampuku. Sebatas kemampuanku belaka.
Post a Comment