SELAMAT WISUDA, OKTA!
"Memutuskan tak menghadiri wisudamu, bukan karena saya membencimu. Saya ikhlas menghantarmu ke mandirimu. Selamat menyambut harimu, Okta! Bangga memilikimu."
Bapak menelepon saya kalau Okta kecewa kenapa saya tak akan hadir di hari wisudanya. Saya beralasan sedang tak memiliki uang untuk pulang ke Jogja. Dan memang itu kenyataan selagi menunggu surat tugas mengajar yang molor entah tanpa target turunnya.
'Okta bilang "Kok kebangetan Mas nggak datang. Dulu dua kali wisudanya, aku bantu bantu!"' bapak berucap.
Jujur saya pengin menangis oleh suara bapak. Saya memang salah karena egois tidak akan datang di hari gembira si Okta. Pasti adik saya itu rindu membagi rasa senangnya karena tuntas jadi sarjana. Okta, saya yakin ingin menyampaikan terima kasihnya karena saya andil pula memberi biaya dan lecutan semangat khas saya yang galak. Saya merasakan itu di tanah rantau sini. Namun, saya melakukan ini karena punya alasan yang semoga ia tahu meski saya tak akan pernah menjelaskan padanya.
***
Okta selalu membuntuti saya di manapun berada. Waktu saya terpuruk di Bandung, ia datang menempel saya. Kala itu ia tes kerja di Bandung. Sayang, Okta gagal, tidak mau pulang, dan bilang mau ikut saya. Bayangkan saya sudah ke luar dari pekerjaan karena berantem sengit dengan manajer, Okta tetiba hadir. Dunia seakan tak berpihak pada saya. Bumi menimpa saya. Dalam sisa gaji terakhir, saya pamit dari Bandung. Okta pulang bersama saya dalam kekalahan.
Tiba masa paling sulit saya mengambil keputusan kuliah S2. Setelah berhasil mengurai persoalan ekonomi keluarga, saya meminta izin ibu untuk lebih dulu masuk ke Jogja. Satu tahun setelahnya, Okta masuk kuliah S1. Reaksi Okta waktu itu mengamuk karena saya sudah dikuliahkan sedangkan dia belum. Namun saya dan ibu punya pertimbangan lain.
Benar, satu tahun berlalu, Okta sabar membantu usaha rumah, kami kumpul bersama di Jogja. Meski saya tertatih tatih membiayai kuliah S2, namun saya percaya diri menerima titah ibu untuk ikut membantu kuliah Okta. Ibu percaya kemampuan saya memancing adiknya kuliah. Saya tidak sedang menyombongkan diri, namun benar adanya jika ungkapan 'Keterbatasan akan membakar semangat ke arah lebih baik'. Apa saja saya lakukan, berjualan apapun, hanya biar saya rampung kuliah dan Okta terbantu.
***
Alhamdulillah, saya bersyukur pada titik ini. Penantian panjang saya dengan kesabaran dan keuletan yang saya yakini poin terbaik saya, Alloh memberi rezeki di akhir batas maksimal usia CPNS. Saya didaulat menjadi dosen. Sekarang, Okta lulus kuliah!
Terima kasih telah jadi saudara terbaik saya, Okta. Ketidakhadiran saya pada Sabtu lusa akan saya balas di wisuda S2mu kelak. Saya menyayangimu.
Bapak menelepon saya kalau Okta kecewa kenapa saya tak akan hadir di hari wisudanya. Saya beralasan sedang tak memiliki uang untuk pulang ke Jogja. Dan memang itu kenyataan selagi menunggu surat tugas mengajar yang molor entah tanpa target turunnya.
'Okta bilang "Kok kebangetan Mas nggak datang. Dulu dua kali wisudanya, aku bantu bantu!"' bapak berucap.
Jujur saya pengin menangis oleh suara bapak. Saya memang salah karena egois tidak akan datang di hari gembira si Okta. Pasti adik saya itu rindu membagi rasa senangnya karena tuntas jadi sarjana. Okta, saya yakin ingin menyampaikan terima kasihnya karena saya andil pula memberi biaya dan lecutan semangat khas saya yang galak. Saya merasakan itu di tanah rantau sini. Namun, saya melakukan ini karena punya alasan yang semoga ia tahu meski saya tak akan pernah menjelaskan padanya.
***
Okta selalu membuntuti saya di manapun berada. Waktu saya terpuruk di Bandung, ia datang menempel saya. Kala itu ia tes kerja di Bandung. Sayang, Okta gagal, tidak mau pulang, dan bilang mau ikut saya. Bayangkan saya sudah ke luar dari pekerjaan karena berantem sengit dengan manajer, Okta tetiba hadir. Dunia seakan tak berpihak pada saya. Bumi menimpa saya. Dalam sisa gaji terakhir, saya pamit dari Bandung. Okta pulang bersama saya dalam kekalahan.
Tiba masa paling sulit saya mengambil keputusan kuliah S2. Setelah berhasil mengurai persoalan ekonomi keluarga, saya meminta izin ibu untuk lebih dulu masuk ke Jogja. Satu tahun setelahnya, Okta masuk kuliah S1. Reaksi Okta waktu itu mengamuk karena saya sudah dikuliahkan sedangkan dia belum. Namun saya dan ibu punya pertimbangan lain.
Benar, satu tahun berlalu, Okta sabar membantu usaha rumah, kami kumpul bersama di Jogja. Meski saya tertatih tatih membiayai kuliah S2, namun saya percaya diri menerima titah ibu untuk ikut membantu kuliah Okta. Ibu percaya kemampuan saya memancing adiknya kuliah. Saya tidak sedang menyombongkan diri, namun benar adanya jika ungkapan 'Keterbatasan akan membakar semangat ke arah lebih baik'. Apa saja saya lakukan, berjualan apapun, hanya biar saya rampung kuliah dan Okta terbantu.
***
Alhamdulillah, saya bersyukur pada titik ini. Penantian panjang saya dengan kesabaran dan keuletan yang saya yakini poin terbaik saya, Alloh memberi rezeki di akhir batas maksimal usia CPNS. Saya didaulat menjadi dosen. Sekarang, Okta lulus kuliah!
Terima kasih telah jadi saudara terbaik saya, Okta. Ketidakhadiran saya pada Sabtu lusa akan saya balas di wisuda S2mu kelak. Saya menyayangimu.
Post a Comment