JOGGING KITA
Aslinya, saya pengin menjerit saking tak kuat menerima perlakuan mantan pelatih lari saya. Eh, amit amit jabang bayi, dia bukan pelatih. Dia abal abal yang meracuni otak saya. Yah, dia bikin saya keranjingan jogging. Anehnya, sekarang dia minggat entah ke mana meninggalkan saya lari lari tanpa teknik. Sekenanya saja.
Waktu itu minggu pagi yang cerah. Sebulan lalu tepat sehari saya menginjakkan kaki di Tasik. Saya bertemu dia pelatih saya, huhhh ... susah sekali menghapus kata 'pelatih' dari pikiran saya, di toko sepatu olahraga. Pilih memilih, saya sudah mau ambil sepatu badminton buat menggantikan yang sudah rusak di kos. Warna sepatunya biru, seperti harapan hati saya yang seluas samudera, talinya kuning menandakan kemakmuran. Saya sudah mau bayar di kasir, tetiba seorang lelaki jangkung berkulit putih bersih menarik saya ke belakang.
'Tunggu, tunggu, Mas!' katanya.
Ia menatap mata saya lekat lekat. Pun saya duduk di sofa jajal sepatu. Saya menoleh ke kasir, ia dan rekannya tak memedulikan kejadian aneh tadi karena sibuk melayani pengunjung lain.
Ia menatap mata saya lekat lekat. Pun saya duduk di sofa jajal sepatu. Saya menoleh ke kasir, ia dan rekannya tak memedulikan kejadian aneh tadi karena sibuk melayani pengunjung lain.
'Ada apa, A?' saya bertanya sambil meletakkan sepatu badminton baru ke sofa.
'Ini penting!'
'Saya harus segera pulang. Saya mau bayar sepatu ini dan pu, lang!'
Seolah tersihir, saya hanya diam tak berkutik. Di depan saya ada lelaki yang siap memperbudak saya, memasukkan saya ke barak TKW yang akan di selundupkan ke Malaysia. Ingin saya berteriak minta tolong, tapi mulut saya terkunci.
'Ma, ma, maumu apa?' saya mengucap gagap.
'Tenang. Saya tidak akan menyiksamu. Lima menit saja saya butuh perhatianmu.' katanya.
☆☆☆
Dia menceritakan pentingnya jogging. Olahraga ini tak harus mengeluarkan banyak duit, tinggal lari saja. Penjelasannya sangat menawan dan runtut tentang keunggulan jogging di lihat dari sudut pandang kesehatan otak, otot, dan seluruh tubuh. Kata lelaki yang mengaku bernama Frans itu, saya tak harus pakai sepatu mahal. Cukup sepatu biasa, asal bukan sepatu jinjit.
'Nanti saya kasih tahu teknik berlari yang efisien. Saat lari, seolah kaki kita tak menempel tanah, melayang wusss ....' tawarnya.
Imajinasi saya mengembara ke mana mana. Kalau saya pindah olahraga dari badminton ke lari, saya akan seperti Flash Gordon si pembela keadilan di muka bumi. Atau, kaya Gundala yang larinya bak kilat. Tertarik saya mah!
'Oke, saya ikut! Jam berapa dan di mana latihannya?' tanya saya antusias.
'Dadaha. Rabu sore. Jam empat. Saya tunggu!' Frans berkata pelan sambil meninggalkan toko olahraga. Pun saya pulang.
☆☆☆
Hari pertama latihan lari di Dadaha, Tasik. Masih jam tiga dan saya menunggu di tempat parkir motor. Frans sudah saya SMS dan membalas jika jam empat kurang seperempat baru sampai. Instruksinya, saya pemanasan agar otot otot saya siap untuk nanti lari. Siap, saya menggelengkan kepala, memutar mutar pundak, merentangkan tangan, dan melipat lipat kaki. Angin meniup badan saya dan terasa segar.
Para pedagang jajanan dan minuman Dadaha beberapa melirik saya seakan memberi sinyal agar saya membelanjakan duit di dompet saya. Terutama si bapak penjual gorengan, tubuhnya gendut gempal, mengerlingkan matanya pada saya. Saya langsung mengalihkan perhatian karena alamat jika saya makan gorengan akan merusakkan pita suara saya, membuncitkan perut saya, dan napas lari saya ngos ngosan.
Saya masih ingat obrolan teman saya begini:
'Kau tahu arti "goreng" dalam bahasa Sunda, Dan?'
'Ndak tahu.'
'Goreng itu jelek. Gorengan itu bikin jelek. Tak baik buat kesehatan.'
Frans datang dengan motor Ninja hijaunya. Ia tak memakai baju olahraga tapi baju kantor. Bilangnya, ia habis dari mengajar di kampusnya. Oh, dosen to? Pukul empat kurang sepuluh menit. Usai menstandarkan Ninjanya, ia memberi penjelasan seperti menguliahi saya 2 SKS. Lama banget dan bikin ngantuk.
'Waktu kau berlari, nikmati. Lepaskan segala permasalahan hidupmu. Pasang target, berlarilah sungguh sungguh!' pesannya sambil menyuruh saya mengitari taman Dadaha.
Sejak itu, saya suka berlari. Lari selain murah juga mengajari saya kesederhanaan namun tetap berfokus pada tujuan. Frans empat kali rabu sore mengajari saya cara berlari yang asyik. Di rabu kelima, dia menghilang tanpa kabar. Saya SMS, nomornya sudah tidak aktif.
'Pelatih nggak jelas! Katanya mau jadiin aku sprinter peraih emas olimpiade?! PEMBUAL!'
Saya mengumpat sejadi jadinya. Ketika saya berada pada level gandrung pada jogging, orang yang saya percaya mampu meningkatkan kemampuan lari saya pergi entah ke mana. Sejatinya mental saya ambruk. Namun, saya berpikir pikir ulang jika tak ada gunanya saya terpuruk. Bangkit ialah solusinya. Sudah saya berikrar meninggalkan badminton demi jogging, ibarat kapal sudah di tengah samudera, tinggal melanjutkan kayuhan sampai pulau terdekat.
'Bukan karena pelatih sepenuhnya nasibku. Pribadiku. Ayo lari!' saya menghibur dan memantapkan diri.
Post a Comment