PENDEKAR TONGKAT EMAS: Sama Kaya AADC, Nicholas Saputra Kali Kedua Melakukan Hal Fatal
Perdebatan sengit pada forum yang mengaku sebagai penggemar dan praktisi beladiri tentang 'Pendekar Tongkat Emas' sepertinya berakhir setelah menonton tuntas filmnya. Polemik tentang kenapa produser Mira Lesmana mengaku aku jika PTE film silat pertama setelah reformasi 98, pemakaian jurus wushu mengapa tidak pencak silat, kostum yang bergaya Tiongkok, tidak relanya para praktisi silat yang kalap dengan istilah 'silat', mustinya kita akhiri setelah menyimak film dengan sutradara Ifa Ifansyah ini.
Saya sejujurnya beharap besar akan mulus dan kerennya PTE biar posisi 'pro Mira Lesmana' saya aman. Saya tidak ikut ikutan kena buli berkepanjangan. Namun, saya haus berbesar hati jika penilaian saya pada PTE mengatakan film ini tidak maksimal. Kenapa seperti itu? Apakah saya kecewa?
Kecewa sih tidak. Dalam dunia seni, tidak ada yang sempurna. Seperti pelajaran Statistika, semua ialah pendekatan pada sebuah idealitas. Jika ada seorang seniman memproklamirkan diri karyanya terhebat sepanjang zaman, bisa kita pastikan ia gila. PTE jauh dari ekspektasi saya dan cuma mendapat enam bintang dari sepuluh.
Pertanggung jawaban apa yang bisa saya berikan?
Alasan saya seperti biasa akan saya urai dalam butiran.
1. Jurus wushu. Memang benar rasa seni beladiri pada PTE tidak bernyawa. Tidak ada aroma pencak silat. Memang ada yang beranggapan jika wushu pun termasuk silat. Silat ialah bahasa universal teruntuk seni beladiri. Namun kesan wushu benar dominan dan agak melenceng dari budaya Nusantara.
Ini makin parah dengan sudut pengambilan gambar ketika para pemeran berjibaku lebih menyasar bagian tubuh bagian atas. Jika boleh membandingkan, film laga indah mana yang tak menampilkan ambilan gambat penuh? Sutradara Ifansyah tampak tidak percaya diri dan terkesan menutup nutupi adegan berantem. Keindahan meluncur ke palung.
Pemain PTE yang bukan praktisi silat ataupun beladiri lain terlihat jelas tak berakting maksimal. Gerakannya hambar, malah seperti orang bermain main di trampolin. Loncat, loncat, salto, menjulang ke angkasa. Maaf, Pak Sutradara, Anda salah melakukan casting.
2. Kostum
Saya melihat hal positipnya PTE total mempromosikan Kain Tenun Sumba. Sepanjang film, tenun Sumba merajai baik dari ornamen, dekorasi, dan kostum pemain. Dalam batin saya, apakah gegara penyandang dananya Kementerian Pariwisata jadi gila gilaan menonjolkan kain Sumba? Lebih pantasnya, PTE malah mirip orang jualan kain.
3. Penghayatan Peran
Mungkin jika pemeran Dara bukan keponakan si produser Mira Lesmana, cewe mungil anak Indra Lesmana versus Sophia Latjuba tidak akan lulus sortir masuk tim film. Tidak keren malah kaya anak TK disuruh main film tanpa kursus. Tara Basro apalagi. Ia cuma mengandalkan wajah ayunya. Reza Rahardian dari pengucapan lafalnya terlalu cewek untuk sekelas pendekar ganas. Nicholas Saputra, kurang optimal, terlalu lembut untuk peranan beladiri. Apalagi waktu adegan sama kaya AADC yang meninggalkan Cinta alias Dian Sastro untuk kuliah ke Amerika Serikat.
4. Panorama
Sumba di FTE lumayan ditampakkan dengan indah. Namun, sang sutradara tidak konsisten dalam memilih spot lokasi cantik. Terkadang mantap, tak jarang merekam landskep yang standar. Belum lagi ia banyak menampilkan langit yang bergerak cepat dalam waktu peralihan adegan. Kacau, deh!
Paling bagus saya simak dalam FTE adalah peran Christine Hakim dan Slamet Rahardjo. Terutama Mbak Hakim yang membuka film dengan gagah. Prolog dengan intonasi suaranya yang kuat sungguh berkarakter dan melesatkan imaji. Tak dapat dipungkiri jika jam terbang Mbak Hakim telah mematangkan akting dirinya. Namun kembali lagi, para juniornya tak mampu menandingi Mbak Hakim. Tenggelam semua!
Kabar bagusnya, film PTE semacam dorongan para senior bagi penerus mereka. Mbak Hakim dan Mas Rahardjo semacam mengawal anak anak muda untuk lebih bersemangat berkreasi pada film. Bijaksana sekali, bukan?
Dari isi cerita saya tidak mampu berkomentar banyak. Terlalu biasa dan tidak wow.
Baiklah, itu dulu resensi Pendekar Tongkat Emas. Apapun hasilnya, tetap dukung film Nusantara untuk maju. Salam sinema.
Post a Comment