TUTUG ONCOM TASIKMALAYA
Sabtu malam meluncur dari Terminal Kampung Rambutan Jakarta, subuh saya sudah sampai di Tasikmalaya. Tiket bus Budiman sudah menjadi 75.000 atau naik 10.000. Saya memaklumi dan menganggapnya tak bermasalah karena mungkin saja pemerintah butuh uang banyak untuk mengeksplorasi minyak di Planet Mars. Ongkos tujuh puluh ribu rupiah sebanding dengan proses rekrutmen kerja yang akan saya lampaui. Enam bulan sudah saya mengikutinya. Baru ini kali mendapati penerimaan karyawan yang durasinya melebihi sinetron. Namun, saya menikmatinya!
Sesampai di rumah saudara, saya terkulai lemas langsung mencium matras. Tidur. Bangun bangun jam menunjukkan pukul sembilan. Waktunya jalan jalan! Aroma kuliner Tasikmalaya yang katanya numero uno juga membikin saya bergelinjang parah. Bulu kuduk saya menegang. Bayangan saya cuma satu: tutug oncom. Enam bulan lalu, kali pertama berlibur di Tasikmalaya, saya belum makan tutug oncom karena kata saudara saya penjualnya sakit semua. Kompak seluruh kota. Pun saya musti membalas dendam di pertemuan kedua ini.
Putar putar kota, saya bertanya ini itu pada saudara saya. Paling banter menanyakan 'Ini daerah apa, Ak?' atau 'Wah, kotanya asyik juga, ya!' Ahhh, ini alasan saya untuk melambungkan hati saudara saya agar ia mendoakan saya diterima kerja di Tasikmalaya. Saudara saya menjelaskan dengan gamblang potensi Tasikmalaya. Pun, kami meluncur ke lapak tutug oncom di Dadaha. Hati saya melonjak girang.
Sampai di lokasi, saya takjub bin menggelepar hati saya. Mlongo. Pembelinya banyak sekali. Saya simak warung tutug oncom ini sederhana. Justru inilah strategi jitu penjualnya. Para penikmat tutug oncom antre dan kalap berkhidmat makan. Jejeran gelas berisi teh hangat tawar menambah keseruan ini. Ada yang spesial! Ternyata, penjualnya pakai minyak goreng yang bukan curah melainkan yang bagus. Jadi tidak takut saya makan mendoan di sini. Biasanya, saya akan batuk jika makan gorengan sembarangan karena minyaknya bekas pakai berkali kali.
Saudara saya tak memesan nasi TO singkatan tutug oncom. Sudah khatam sepertinya dia. Saya tak mau kehilangan kesempatan, pesan satu porsi. Sayangnya isinya sedikit. Tapi saya harus elegan, dong. Saat ini jaga image, besok kalau sudah bekerja di sini, amin, akan balik ke sini dan makan lima porsi sekaligus sekali duduk. Gila banget tapi biarkan saja!
Nasi TO nya enak. Berbeda dengan utug oncom Bandung yang pekat, kali pertama saya merasakan, di Tasikmalaya lebih gurih dan segar. Paduannya dengan leunca dan timun pas. Sambalnya sih enak, tapi saya belum begitu menyukainya karena takut akan mencret meski saya selalu sedia pil anti diare di tas. Satu porsi ludes. Sempat saya meminta tambah mendoannya yang lezat. Selesai, saya membayar hanya dengan 7.000. Nasi TO dan empat mendoan. Wah, murah sekali ...
Kuliner Tasikmalaya telah memikat saya. Apakah pekerjaan akan mengikat saya? Hanya Alloh yang berwenang menilai usaha keras dan kreatif saya. Salam sukses.
Post a Comment