Bersahabat (Kembali) dengan Alam Raya
Bencana, atau musibah, janganlah disoraki. Karena sebetulnya ia amat dekat dengan diri kita. Tidak untuk diteriaki ''Pergilah Kau. Aku tak suka. Menderita aku dibuatmu.' Percuma saja lantang menolak kedatangan, yang bernama bencana alam. Tak perlu panik. Sebab, ia sejatinya bisa didekati dengan baik.
Gunung meletus adalah siklus kehidupan. Ia bergerak tumbuh dewasa menjadi tua. Meletupkan material untuk mengurangi beban yang ia tanggung. Dan ingin berbagi dengan manusia di dekatnya.
'Hai Manusia. Aku berikan pasir untukmu. Untuk membuat rumah.'
Atau,
'Kerikil untuk kau buat tembok.'
Dan,
'Debu. Dan kuingin mengingatkanmu, dengan debu ini, batuklah diri kalian.'
Ya, batuk. Saat debu masuk ke dalam napas, tercekatlah kita. Sesaat menghargai arti udara. Dan menyebutlah kita atas nama Tuhan. Yang sehari hari lupa untuk bersyukur. Gunung meletus jika disadari pula adalah berkah. Tanpa mengesampingkan akibat yang diperoleh. Oleh manusia seperti kita.
Bagaimana jalan untuk menganggap bencana dan musibah sebagai kawan?
Langkah awal, mengenal apa itu bencana. Entah itu banjir, hutan berasap karena dibakar, gempa, atau yang lain. Orang bijak berujar, tak kenal maka tak sayang. Dan, selalu dalam pemikiran kita, bencana bukan untuk ditakuti. Tahan emosi untuk selalu merenung. Tidak reaktif, tetapi sebelumnya harus responsif.
Membangun bangunan tahan gempa, wajib. Atau, membuat jalan lahar panas dan dingin untuk si Gunung Kesayangan kita. Dan yang tak kalah luar biasa, mengajari orang orang kita untuk selalu tanggap bencana. Memperlakukan alam seperti halnya makhluk. Yang berhak mendapatkan kehidupan. Sehingga, manusialah yang berperan aktif dalam hal ini.
Mari mengenal alam lebih bijak.
Post a Comment