KURSI MATI LISTRIK MATI
Kawan Medan saya sering banget uring uringan ihwal mati listrik di kotanya. Ngomelnya bisa berbagai macam karakter; kadang misuh seluruh nama hewan bonbin, mengutuk PLN sebagai instansi tak mau belajar dari kesalahan beruntunnya, tak jarang ia merutuki dirinya sendiri kenapa hidup di Kota Medan. Saya, tahukah kalian, menanggapi dengan biasa saja. Tak ada simpati pada diri saya untuk sekadar menghibur hati kawan Medan saya.
'Biar kau nikmati malam malammu tanpa nonton TV. Itu malah baik bagimu!' kata saya tanpa pernah meluncurkannya pada kawan Medan saya. Pengecut 'kan diri saya?
Namun pemikiran saya itu seketika runtuh ketika saya mendapatkan sepucuk surat dari orang yang mengaku bernama Poltak. Ia mengirimi saya kabar dirinya dan menceritakan sesuatu yang hebat telah ia alami dan lewati. Poltak bukan kawan Medan yang saya ceritakan di muka tulisan ini. Sama sama Batak, Poltak tampak dari suratnya punya hal luar biasa yang sebentar lagi kalian ketahui. Ini tentang hukuman mati kursi listriknya.
★★★
Isi suratnya seperti ini:
"Abang Danie yang saya hormati. Maafkan saya jika gegabah mengirim surat pada Abang. Saya mendapatkan alamat Abang dari orang yang saya temui di LP. Sekali lagi, saya mohon maaf telah lupa nama orang itu, Abang Danie. Paling saya ingat, dia lelaki tinggi berkulit sama dengan saya, berrambut perak, dan senyumnya punya lesung pipi hanya sebelah kiri. Dia membesuk istrinya yang masuk penjara karena majikannya memfitnahnya mencuri piring. Saya mengobrol dengan lelaki itu lama, Bang. Terutama tentang listrik di rumahnya yang sering mati.
Itu kejadian dua hari sebelum eksekusi mati saya. Saya mendapat hukuman itu tanpa tahu apa tindakan kriminal yang saya lakukan. Tetiba suatu malam, saya ingat 18 Agustus 2008, sepasukan tentara menjemput paksa saya dari rumah. Anak istri saya menjerit ketakutan karena pasukan itu brutal memorakporandakan rumah kami. Mereka bertopeng. Mereka berseru "Kau pengkhianat negara?! Matilah di penjara!"
Tentara itu menjebloskan saya ke sel. Peradilan tak pernah saya terima, semua orang kampung tahu kalau saya masuk penjara dan mencemooh istri dan anak saya hingga mereka pergi entah ke mana. Saya mendapat hukuman mati. Tak ada yang menjenguk saya bertahun tahun, apengacara juga tidak. Lelaki yang memberi alamat Abang itulah manusia pertama yang saya ajak berbicara sejak saya di penjara. Saya sudah letih dengan semua ini hingga saya tak mampu mengucapkan minta tolong untuk dibantu mencari keadilan.
Bang Danie, pengin tahu jalannya eksekusi mati saya?
Ada beberapa orang yang hadir di tempat eksekusi saya. Mereka berwajah dingin seperti mayat. Satu kiai mendekati saya yang tengah diborgol dan mulut ditutupi lakban. Ia menawarkan doa terakhir namun saya menolaknya karena saya tidak pernah merasa melakukan kejahatan hingga saya masih berhak hidup. Dan, eksekutor itu mendorong paksa saya hingga tubuh saya kesakitan di kursi listrik.
Kematian sudah dekat, Bang Danie. Saya mau berontak namun percuma. Tak ada yang akan membantu saya. Dalam pikiran yang kacau, tapi saya terus terusan menenangkan diri, saya berdoa sendiri agar keajaiban Alloh tampak saat itu. Dan benar! Ketika tubuh saya dialiri listrik, tetiba mesin berhenti. Mati listrik. Saya nyaris gosong dalam pelototan para saksi eksekusi. Untungnya saya bertahan hidup, Bang Danie. Hakim eksekusi segera meminta medis memasukkan saya ke rumah sakit. Sebulan saya dirawat dan hakim memutuskan hukuman saya telah dilampaui. Saya bebas, Bang ....
Keberuntungan saya akibat listrik yang mati. Coba kalau listrik lancar, saya tidak akan menulis surat ini pada Bang Danie!
Baik, Bang Danie. Itu saja surat dari saya. Ngomong ngomong, Abang kuliah di jurusan elektro? Saya tanya kenapa mesin eksekusi kursi listrik bisa tetiba mati? Kata sipir, kejadian itu sangat langka dan kuasa Alloh yang berlaku atasnya. Menurut Bang Danie itu kenapa?
Terima kasih telah membaca surat saya, Bang Danie! Salam ...."
★★★
Saya harus bagaimana coba, Rekan rekan?
Post a Comment