KAOS KAOS KAKI untuk DOMBA
Tak ada penjual sate kambing atau ayam malam ini karena tiap rumah telah berubah warung sate dengan asapnya yang membumbung menusuk hidung. Hari Besar Kurban menurut saya bukan milik semua orang melainkan harinya para Madura. Mereka balik kampung merayakan liburan bareng sanak kadang melepas penat setelah setahun berjibaku berjualan sate.
Keliyengan betul kepala saya makan sate kambing tadi siang. Daging dua keresek pemberian takmir masjid berhasil saya dan teman kos masak macam macam. Keributan kecil sempat terjadi ketika saya beride tusuk satenya pakai ruji sepeda. Teman teman saya nggak mau karena takut langit langit mulut mereka kena tusuk saking nafsu makannya. Padahal, tahukah kalian jika Imogiri Jogja ada sate bertusuk ruji bernama Klathak yang rasanya mantap?
Tangerang dingin di malam ini. Takbir sudah berhenti dan para penyanjung Tuhan telah lelap dalam mimpi mereka berbekal perut penuh. Saya masih tak kuasa menahan sakit kepala dan was was kalau kalau stroke menyerang saya sedangkan saya belum kawin. Putusan saya, pergilah ke warung angkringan sembari berharap ketika berjalan menyibak kesunyian malam agar segeralah saya balik ke Kota Jogja yang saya kagumi kesederhanaannya yang membuat saya betah dan meninggalkannya ialah kerinduan mematikan.
Jam dua belas lebih sepuluh. Sudah berganti hari. Ini Senin yang jutaan orang membencinya karena mengenyahkan Minggu waktu kumpul keluarga. Untung saya masih cuti jadi tak bermasalah dengan awal minggu ini.
'Jahe manis panas, Bang!' seru saya pada si penjual angkringan. Saya duduk di sebelah pak tua yang tengah asyik menyantap nasi kucing.
'Belum tidur, Mas?' sapanya.
Saya menelisik wajah si bapak di samping saya khawatir jika kalimat tanya dirinya ialah mantra untuk memikat saya. Ia akan menjual saya ke seorang germo tambun dan bergigi hitam yang napasnya busuk. Saya jadi gigolo! Oh, tidak ....
'Kota besar memang banyak orang makan orang, Mas!' tambah si bapak. Saya tambah yakin ia perekrut lelaki malam pemuas berahi para tante. 'Kecuali saya.'
Ia mengulurkan tangannya. Saya enggan menyambutnya. Dan si bapak melanjutkan makannya.
'Emmm, bapak tinggal di mana?' saya mengesiapkan ketakutan bertanya pada si bapak. Si empunya angkringan memberi segelas jahe panas pada saya.
'Dekat sini saja, Mas.' Ia menyeruput kopi hitamnya dan memperkenalkan dirinya "Dadang". 'Mas itu kosnya dekat rumah saya. Saya tahu kok! Kerja di proyek kan?'
Aduh, malu banget saya si bapak ini tahu saya sedangkan diri saya tak mengenalnya. Ia tahu juga nama saya lengkap. Rasanya dunia menekan saya karena jarangnya saya bergaul dengan tetangga kos. Alasan klasiknya, capek pulang kerja langsung tidur.
'Iya, Pak Dadang.' jawab saya. 'Bapak kok masih terjaga?'
'Rampung ngurusi kurban, Mas Danie. Alhamdulillah banyak yang kurban tahun ini. Paling banyak selama saya bantu masjid."
Pak Dadang seorang algojo hewan kurban. Sudah empat puluh tahun ia bertugas menyembelih domba, kambing, dan sapi. Malam itu, saya mendapat cerita suka duka Pak Dadang sebagai algojo. Pernah suatu saat, Pak Dadang berkisah dalam wakah serius, seminggu sebelum Hari Idul Adha ia mimpi dikejar seribu onta di gurun pasir. Dan esoknya, ia dikejar kejar debt collector karena susah tiga bulan cicilan bank-nya macet. Dan masih banyak lagi cerita Pak Dadang.
'Nggak makan, Mas?' tanyanya.
'Diet, Pak.' saya terkekeh.
'Halah, anak muda kok diet dietan. Makan yang banyak! Biar setrong ....'
'Oke, Pak. Besok saya mulai!'
Segelas wedang jahe sudah habis. Kepala saya terasa ringan dengan berkali kali sendawa meletus dari mulut saya. Saya lihat Pak Dadang juga sudah rampung makan dan minum.
'Pak Dadang.' saya berkata sembari merogoh saku jaket saya. 'Ini buat seekor domba kurban tahun depan!'
Dua pasang kaos kaki berwarna polos saya haturkan pada Pak Dadang. Kebetulan tadi siang saya ke pasar dan lupa mengeluarkan kaos kaki dari jaket.
'Buat apa ini, Mas Danie?' tanya Pak Dadang.
'Mohon pakaikan ke kaki seekor domba, Pak. Biar catchy!' jawab saya sambil membikin kode tangan "oke".
'Ada ada saja kamu, Mas ....'
'Terima kasih, Pak Dudung. Saya pamit.'
Saya membayar jahe sekalian makan dan minum Pak Dadang. Tak lupa saya mengucap terima kasih pada si abang angkringan.
Post a Comment