PECEL YANG ANEH
Pecel sejatinya makanan paling mengerikan buat saya. Karena satu hal: saya merasa pecel hidangan yang tidak adil bagi calon pelahapnya. Suka tidak suka, si pembuat sambalnya memaksa untuk penikmatnya mengikuti tingkat kepedasan yang ia bikin. Tidak seperti lotek, makanan yang saya dewakan sebagai makanan segar dan teradil, kita bebas meminta seberapa banyak cabe yang masuk ke cobek sesuai ketangguhan lidahnya. Pecel, siapa coba yang bertanggung jawab jika orang makan pecel dan terlalu pedas sekonyong konyong mencret menyerang?
Trauma saya pada pecel terjadi waktu kelas empat SD. Saya susah boker karena tak suka makan sayur dan buah. Ibu saya panik luar biasa karena anak kesayangannya dan meraung raung di pojok kamar sembari menatap natap langit seolah kutukan tengah menghinggapi.
'Nak, ada apa?' tanya ibu saya.
'Emmm ....' jawab saya kesusahan.
'Kamu em? Menstruasi?'
Saya sudah tidak kaget dengan ibu saya. Ia sama seperti saya: somplak. Sudah tahu anaknya cowok, ibu menanyai saya haid! Emmm belum tentu datang bulan. Kenapa ibu tidak curiga 'emmm' itu 'melacur'? Astaghfirullah!
'Sulit nyenyek, Buk!' jawab saya membuat gamblang semuanya. Ibu saya melepas senyum yang renyah namun binal pada saya.
'Gampang!' tegas ibu saya. 'Ibu sudah paham kau tak suka sayur apalagi buah. Kau sama kaya bapakmu!'
Bapak pekerja kantoran yang kebanyakan duduk. Olahraga kurang dan perokok berat. Apa yang terjadi? Selain wasir, kulit bapak tampak suram karena semua keburukan itu.
Ibu saya meneruskan pidatonya, 'Bapak oke sekarang! Kau tahu kita punya dua anjing? Mereka berdua yang memaksa tiap pagi bapakmu lari pagi atau kena gigit!'
'Lalu?' tanya saya terpaksa karena saya hapal banget karakter ibu yang haus perhatian.
'Merokok? Jangan harap ia tidur di ranjang! Karpet!' Ibu berseru sambil meninju langit.
'Dan?'
'Bapak terkurangi ambeiennya ibu paksa makan pecel!'
Pun saya tahu pecel ialah makanan yang menyembunyikan sayuran dengan kucuran sambal kacangnya. Kali pertama, saya pengin mencekik leher ibu.
"Ibu pendusta ...." geram saya dalam hati waktu itu.
***
Namun tadi siang pemikiran saya tentang keburukan pecel jungkir balik. Saya lewat Jalan Solo, ada warung pecel yang meskipun tempatnya tidak spesial tetapi ramai. Penasaran saya dibuat karena spanduknya bertulis musuh saya "PECEL"!
Geram saya dari kecil akan terbalaskan siang tadi. Akan saya balikkan meja warung pecel itu! Saya berjalan mantap dengan dagu terangkat bersiap dendam kesumat tersalurkan.
Masuk warung, saya ternganga. Si penjual ialah teman SMP saya yang terkenal paling terbelakang secara akademis. Saya berpura pura tak kenal, ia pun tak tahu saya temannya. Tapi saya ingat ia jauh di belakang saya.
Dalam usaha saya memamah biak pecel, saya merasakan enaknya pecel di warung ini. Pun saya mewawancara si penjual yakni teman saya sudah punya banyak cabang warungnya. Semakin lahap saya melahap pecel takjub oleh cerita jatuh bangunnya sebagai pengusaha kuliner. Sukses sekarang. Saya mulai berdamai dengan jenis makanan ini.
Mari merapat di www.rumahdanie.blogspot.com
Post a Comment