Aku Serasa Topeng Monyet
Andai topeng itu bernyawa, ia akan menertawakan kita. Mengapa wajah kita yang lebih unggul dari topeng rela ditutupi. Oleh topeng penutup jati diri. Topeng pasti terkekeh tiada henti dan menyalahkan kita. Memang kita patut dipersalahkan dengan kelakuan tak dewasa ini. Melemparkan segala kelebihan malah menuntut benda lain menutupinya. Tak berani lantang menunjukkan ‘Inilah muka saya!’
Kita lebih memilih menjadi orang lain. Menggunakan topeng yang kita anggap mempercantik diri. Namun sebenarnya topeng hanyalah hiasan yang lapuk. Segera menghilang seiring perjalanan masa. Dan muka asli kita terbuka, menampilkan keriput penuaan. Yang kita sembunyikan oleh topeng tadi.
Alam tak menuntutmu untuk bersembunyi. Kita disambut oleh angin, air, mentari, dan goyangan bunga warna-warni. Tak ingin ia menerima kita dalam bentuk yang ganjil. Kita diterima apa adanya, yang menampilkan jiwa tanpa malu-malu. Tanpa sembunyian rasa. Karena itu tak baik di mata jiwa alam. Merusak harmonisasi yang telah ada sejak nenek kita masih di alam tidur bundanya.
Topengku, topengmu, mari kita lepas bersama-sama. Menunjukkan sejatinya jiwa kita. Tak peduli menawan atau kusam wajah kita. Alam menerima kita apa adanya. Hati kita juga harus belajar dari alam. Kekurangan menyertai kelebihan, penuh suatu saat akan kembali kosong. Tak usah malu menjadi diri sendiri.
Post a Comment