POHON DUREN SAYA ITU!
Baru sepuluh menit saya mengusir seorang bocah yang sembarang ambil buah duren saya di depan rumah, dua anak datang lagi. Saya kalap dan menyerang mereka dengan ucapan:
'Jauhi pohon durenku?! Duren bukan makanan anak kecil!'
Dua anak dalam kaos bergambar tokoh kartun bikinan Barat; Batman dan X Man, turun dari pohon duren. Saya tambah geram karena mereka tidak cinta produk dalam negeri. Mereka akan tumbuh jadi manusia yang tidak Nusantara. Tampak bibir mereka bergetar dalam tatapan mata ketakutan pada saya.
'Ma ... ma ....' satu anak berusaha berucap.
Saya serobot saja sambil saya celingak celinguk memastikan tetangga sebelah tak tahu saya memarahi dua anak di depan saya sekarang. Pikiran saya teringat oleh dua piring spagheti Italia racikan saya di dapur yang belum sempat saya santap karena tahu ada pencuri buah duren. Saya suka makanan Barat!
'Om tahu kalian mau kata itu bukan duren kan?!' seru saya. 'Sudah lima puluh orang yang berkata begitu kalau kalian tahu.'
Mereka mengangguk sambil saling menyenggol bahu tanda mereka mencermati saya. Saya memang haus perhatian, setiap saat pasang tweet dan menunggu nunggu komentar teman teman. Eksis di dunia maya adalah wajib agar orang tahu saya memanusia.
'Duduklah ke sini!' saya berkata melembut namun mereka kaget dan curiga seperti saya seorang bule Phedofil Bali. 'Sini ....'
'Ada apa, Om?' tanya bocah yang berperawakan lebih tinggi.
'Sini!' Dan mereka duduk di teras bersam saya.
***
Inilah mengapa saya menganggap pohon rambutan ialah duren. Saya menjelaskan pada dua bocah yang duduk bersila. Langit Jogja mendung yang membikin suasana yang saya sebut diskusi a la PBB New York semakin berkarakter dan syahdu.
'Aku dulu kena tifus, Adik adikku.' saya memulai perbincangan. Wajah mereka berbinar.
'Tifus itu yang suka makan keju ya, Om?' tanya si bocah yang kecil.
'Itu tikus! Tifus ....'
'Oh ....'
Sejak saya kena tifus kelas dua SMA, saya antipati pada rambutan karena rambut saya rontok parah. Botak. Suhu tubuh yang naik drastis lalu drop cepat membuat saya mengigau ngigau. Untung nyawa saya terselamatkan. Jika tidak, saya tidak mungkin berada di teras rumah ini laksana seorang kyai berkocek tebal hasil berbicara di mimbar demi mimbar pengajian yang menceramahi dua bocah.
'Adik adikku yang budiman. Kepala Om yang botak membuat Om menganggap rambutan itu duren. Bayanganku, rambutku segede gede kulit duren!' jelas saya.
Dua bocah di hadapan saya mengamati rambut saya yang sekarang tebal mengilat.
'Aku juga tidak mengambut ini rambut!' tambah saya. 'Ini duren!'
'Om aneh ....' Dua bocah berkata bareng.
'Nggak kok .... aneh kalau Jumat Kliwon saja. Tunggu ya!'
Saya meminta waktu time out mereka berdua menuju dapur dan kembali ke mereka.
'Ini buat kalian!' saya menyodorkan dua piring spagheti. 'Bahan dasarnya seratus persen dalam negeri. Makanlah di rumah bareng bapak ibu kalian. Tapi jangan lupa cuci tangan biar nggak kena tifus dan rambut kalian rontok!'
'Asyik ....' Mereka bersorak.
'Nanti kalau duren sudah matang merah, ke sini saja!' Saya memesani mereka saat mereka berlari kembali ke orang tua mereka.
Post a Comment