TENTANG COLOKAN LISTRIK KERETA
Ada dua memori saya tentang colokan listrik. Pertama, ia salah satu komponen listrik rumah yang dulu nyaris membinasakan ayah saya. Saat hujan lebat dengan kilat menyambar nyambar, saya masih ingat itu malam minggu bulan Mei dua puluh tahun lalu, listrik padam tiba tiba saat pesta ulang tahun adik bungsu saya. Semua anak yang kebanyakan TK yang didampingi ibu mereka panik. Anak anak menjerit jerit menyangka bumi tengah diserang oleh alien. Ayah saya yang berperawakan nyaris seperti pemeran Superman, turun tangan secara jantan memeriksa listrik. Betapa bangga waktu itu mendengar telapak kaki ayah menapaki lantai. Tep, tep, tep, bersama batin saya yang bergemuruh mensyukuri punya ayah yang gagah perwira. Lalu, DAR! Dinding rumah ke luar api dan asap yang membumbung berbau gosong. Situasi tambah kacau dan kami ketahui jika ayah kesetrum saat ia mengutak atik boks meteran dan colokan listrik dalam kegelapan hingga ia pingsan. Untung ayah selamat!
Kenangan kedua yang dulu mengendap dan sekarang muncul yaitu colokan listrik di salon ibu saya. Saya menganggap urat nadi keberhasilan usaha salon ibu saya adalah colokan listrik. Bisa kita bayangkan jika puluhan pelanggan lagi asyik asyiknya perawatan mendadak colokan ngadat. Bisa ibu saya panen protes sampai seolah wajahnya berlumuran air ludah para pelanggan. Sampai sampai saya berkata sama ibu saya begini:
'Bu, sebenarnya adik bungsu saya bukan si Karto!'
Ibu saya yang tengah memotong rambut hilang kendali dan mencukur rambut seorang bapak dengan mesin cukur listrik tidak seimbang. Bersyukur si bapak tidak marah malah senang dengan keteledoran ibu saya.
'Kenapa kau bisa berkata Karto bukan adik bungsumu, Danie?' tanya ibu yang saya perhatikan lebih hati hati merapihkan rambut kepala bapak di depannya. Ibu menggelengkan kepalanya ke kanan kiri untuk memastikan cukurannya sempurna.
Saya menatap ibu lewat cermin salon dari sofa. 'Adik bungsu saya colokan listrik! Karena dialah yang bantu ibu dapat uang. Terus saya dikasih uang jajan deh.'
Ibu tersenyum dan tenggelam dalam gemulai menarikan tangannya di kepala si bapak pelanggan salon. Jumputan jemari ibu saat mengukur panjang rambut yang akan dipangkas saya rasakan penuh presisi. Belum lagi cara memotong dengan gunting rambut andalannya, sangat berkelas dan nyeni banget. Saya menyayangi ibu karena kerja keras dirinya juga ketekunannya.
***
Dua hal itulah yang saya pikirkan waktu melihat colokan di kereta ekonomi ini: Progo asal Stasiun Senen menuju Jogja. Terkejut sekali saya karena dulu kereta api sangat buruk fasilitasnya; toilet jorok bau pesing dan pembalut bekas yang tampak banjir darahnya, kondisi gerbong juga waktu lampau gerah namun sekarang sejuk. PT. KAI berprestasi sekali. Tapi tidak dengan ia menyingkirkan para pengasong secara keji. Itu tidak bisa dimaafkan kuga dengan pembangunan stasiun bertembok tebal tinggi yang tidak ramah warga di sekitarnya.
Namun saya merasakan aneh dengan para penumpang kereta yang hanya memakai colokan untuk mengisi baterai HP. Menurut saya terlampau sia sia menggunakan colokan kereta dengan satu aktivitas. Seharusnya, colokan listrik di kereta bisa lebih berdaya guna lagi dengan kita membawa alat alat seperti setrika, hair dryer, alat panggang roti elektrik, mesin tenun, bahkan lemari es jumbo. Masing masing penumpang bisa banyak bereskpresi yang tak melulu mengisi baterai HP untuk whatapp, BBM, atau warna eksistensi maya lain. Ahhh, perjalalanan akan sangat bervariasi!
Mari merapat di www.rumahdanie.blogspot.com
infonya bagus,,
BalasHapusdan sangat menarik..