Tiang Listrik yang Bernyawa
Saat takbir Lebaran menggema, pandanganku tertuju pada tiang listrik. Ia berdiri kaku, tak bisa ke mana mana karena tugasnya. Tak sempat ia ikut berkeliling bertanjidor untuk meributkan jalan kampung. Ia lebih memilih tetap dalam kewajiban memastikan listrik mengalir.
Aku bangkit dari dudukku. Kuberjalan terseret oleh linu sendi, kuberhenti sejenak untuk memungut batu
di tanah. Kudekati tiang listrik bercat perak itu.
'Selamat Lebaran. Terima kasih.' Aku memulai percakapan, kupukul tiga kali tiang listrik ini.
Kucermati dentingnya tak kalah bagus dengan suara speaker masjid. Mereka malah berteriak teriak dan memukul bedug sembarangan seolah tak mampu mengatur rasa gembira menyambut Idul Fitri. Aku menepuk tiang listrik dengan sopan, bermartabat. Kulafazkan takbir dalam hati.
PET.
Mendadak lampu padam. Gelap gulita. Rasa bersalah memenuhi benakku. Apakah batu di tanganku melukai tiang listrik ini? Kuusap ia sambil memohon maaf.
'Tak ada niat aku bikin sakit kamu.'
JRENG.
Terang kini. Tiang listrik ini bernyawa.
'Selamat Lebaran. Terima kasih.' Aku memulai percakapan, kupukul tiga kali tiang listrik ini.
Kucermati dentingnya tak kalah bagus dengan suara speaker masjid. Mereka malah berteriak teriak dan memukul bedug sembarangan seolah tak mampu mengatur rasa gembira menyambut Idul Fitri. Aku menepuk tiang listrik dengan sopan, bermartabat. Kulafazkan takbir dalam hati.
PET.
Mendadak lampu padam. Gelap gulita. Rasa bersalah memenuhi benakku. Apakah batu di tanganku melukai tiang listrik ini? Kuusap ia sambil memohon maaf.
'Tak ada niat aku bikin sakit kamu.'
JRENG.
Terang kini. Tiang listrik ini bernyawa.
_____
Sumber gambar: rajinpoll.blogspot.com
Sumber gambar: rajinpoll.blogspot.com
Post a Comment