Beed-e Majnoon (Willow Tree, 2005): Profesor dan Kebutaan
Judul Film : Beed-e Majnoon (Willow Tree, 2005)
Sutradara : Majid Majidi
Penulis : Majid Majidi
Bahasa : Persia
Negara : Iran
‘Oh Tuhan. Kumemohon kepadaMu. Beri satu kesempatan satu kali lagi.’
Itulah yang diucapkan Yusef di akhir film dengan bergetar. Setelah hidupnya hancur justru ketika dirinya kembali bisa melihat setelah 45 tahun dalam kebutaan. Istri, anak, dan ibunya tak sanggup menghadapi kemelut jiwa Yusef, seorang profesor yang terlahir buta, namun matanya berhasil dicangkok saat di puncak karirnya.
Baru pertama kali melihat wajah istri dan anaknya, terpesona oleh kecantikan seorang mahasiswinya, juga kebingungan menerima warna warna kehidupan, sontak membuat Yusef tak mampu mengendalikan dirinya. Semua berantakan bagaikan tak mengerti akan dibawa kemana kehidupannya pascamelihat. Hingga ia berkeinginan meninggalkan dunia kampus karena jiwanya yang bergolak.
‘Berhentilah berlaku sebagai ibuku!’ seru Yusef kepada istrinya. Padahal sang istri sudah bersamanya bertahun tahun memberi dorongan kepadanya.
‘Aku tak membutuhkan kalian lagi.’ Kepada ibunya, Yusef membentak.
Menjadi manusia yang bisa melihat, membuat Yusef seakan mendapat kutukan. Depresi total.
***
Majid Majidi untuk kesekian kali menuturkan satu problem negerinya dengan gaya khas: terperinci, konflik yang kuat, dan tetap dalam kerangka kesederhanaan. Memang, jika dibandingkan dengan Children of Heaven, Color of Paradise, ataupun The Song of Sparrows, kualias film ini agak di bawah standar. Detail kurang greget, kejutan kejutan khas Majidi, yang membuat pemirsanya berpikir, kurang disajikan secara luar biasa.
Dari sudut keaktoran, penampilan Parviz Parastuti sebagai Yusef pada sepanjang film masih belum istimewa. Pemirsa belum teraduk emosinya. Musik pendukung terasa hambar dan menempel saja.
Secara total, film ini hanya mendapat 6,5 bintang dari 10.
Meribut di www.rumahdanie.blogspot.com
Sutradara : Majid Majidi
Penulis : Majid Majidi
Bahasa : Persia
Negara : Iran
‘Oh Tuhan. Kumemohon kepadaMu. Beri satu kesempatan satu kali lagi.’
Itulah yang diucapkan Yusef di akhir film dengan bergetar. Setelah hidupnya hancur justru ketika dirinya kembali bisa melihat setelah 45 tahun dalam kebutaan. Istri, anak, dan ibunya tak sanggup menghadapi kemelut jiwa Yusef, seorang profesor yang terlahir buta, namun matanya berhasil dicangkok saat di puncak karirnya.
Baru pertama kali melihat wajah istri dan anaknya, terpesona oleh kecantikan seorang mahasiswinya, juga kebingungan menerima warna warna kehidupan, sontak membuat Yusef tak mampu mengendalikan dirinya. Semua berantakan bagaikan tak mengerti akan dibawa kemana kehidupannya pascamelihat. Hingga ia berkeinginan meninggalkan dunia kampus karena jiwanya yang bergolak.
‘Berhentilah berlaku sebagai ibuku!’ seru Yusef kepada istrinya. Padahal sang istri sudah bersamanya bertahun tahun memberi dorongan kepadanya.
‘Aku tak membutuhkan kalian lagi.’ Kepada ibunya, Yusef membentak.
Menjadi manusia yang bisa melihat, membuat Yusef seakan mendapat kutukan. Depresi total.
***
Majid Majidi untuk kesekian kali menuturkan satu problem negerinya dengan gaya khas: terperinci, konflik yang kuat, dan tetap dalam kerangka kesederhanaan. Memang, jika dibandingkan dengan Children of Heaven, Color of Paradise, ataupun The Song of Sparrows, kualias film ini agak di bawah standar. Detail kurang greget, kejutan kejutan khas Majidi, yang membuat pemirsanya berpikir, kurang disajikan secara luar biasa.
Dari sudut keaktoran, penampilan Parviz Parastuti sebagai Yusef pada sepanjang film masih belum istimewa. Pemirsa belum teraduk emosinya. Musik pendukung terasa hambar dan menempel saja.
Secara total, film ini hanya mendapat 6,5 bintang dari 10.
Meribut di www.rumahdanie.blogspot.com
Post a Comment