Ikan Asin, Kucing Penuh Keropeng, dan Ibunda Gaib
Ikan Asin, Kucing, dan Ibunda
Tapi itu belumlah terjadi. Ikan asin belum matang. Masih dicampur dengan bawang putih, cabai, sepucuk sendok garam, gula sejimpit, dan sayuran yang tadi dipetik dari kebun belakang. Ibuku sangat mahir memasak. Menu spesial yang aku suka, ya tumis ikan asin. Rasanya, tak ada di dunia ini yang mengalahkan si ibu. Apa karena membikinnya dengan sepenuh hati? Entahlah.
Di rumah, kucingku sebelas. Lima jantan, enam betina. Mereka rukun rukun. Tak pernah bertengkar. Aku selalu beri mereka makanan sangat lezat. Sarden. Biar saja aku makan ikan asin, yang penting binatang piaraanku terjamin kualitas hidupnya. Kuanggap mereka titipan Illahi yang musti dirawat dengan hati. Sama seperti ibu yang memberi kasih sayang padaku.
Satu piring tumis ikan asin di atas meja makan. Asapnya mengepul. Warna hijau sayur kangkung mengundang diriku untuk segera menyantap. Tapi, nasi belum matang. Juga, ibu kini siap siap menggoreng tempe. Wah, harus sabar. Tak boleh tergesa gesa. Sambil menunggu ibu selesai, kubereskan kandang kuncing. Membuang tahi mereka agar tak ada yang sakit.
***
Kubuang tahi di bus beton di depan rumah. Ini sudah biasa kulakukan, biar tahi kucing kering, lalu bersama sampah kering rumah dibakar. Tiba tiba, tetangga sebelah menghampiriku.
‘Heh Dik. Buang tahi kucing jangan di situ.’ gertaknya.
‘Kenapa Bu?’ tanyaku. ‘Nanti juga dibakar.’
‘Nggak sehat Dik.’
Ia lalu menjelaskan teknik mengolah tahi kucing. Begini, begitu. Harus seperti itu, seperti ini. Disampaikan dengan mulut berbusa busa, tentu mata melotot dan wajah sok tahu yang ditunjukkan.
‘Tahapnya banyak banget, Buk?’
‘Iya. Kalau kamu hidup sehat, ya seperti itu.’
Aku berpikir sejenak. ‘Ibu dapat informasi itu dari mana?’
Ia tampak kaget. ‘Dari internet.’
‘Sudah mencobanya Buk?’ tanyaku.
‘Belum,’ ia gelagapan. ‘Mm, tapi aku kan menyampaikan saja. Supaya kamu nggak dapat penyakit. Berat lo Dik. Di Amerika saja, banyak yang kena apa itu penyakit …. Lupa aku namanya.’
Dalam hatiku, si Ibu di hadapanku mulai tidak yakin. Curiga jika dia dapat informasi yang sepotong potong. Tapi aku menghargai dirinya.
‘Oke Buk. Terima kasih atas infonya.’
‘Dilakuin ya Dik.’ jawabnya.
Aku tidak mengiyakan. Hanya mendehem dan kembali menuju rumah. Membersihkan tangan dengan sabun mandi.
***
Makanan sudah siap. Waktunya bersantap.
Meribut di www.andhysmarty.multiply.com
Post a Comment