Pisang dan Sayur Daun Ketela: Panjang Usia
Pedagang pisang. Berusia sangat tua. Ia mengaku berumur seratus tahun. Dan memulai usahanya sejak usia tujuh belas tahun. Berarti, sudah 83 tahun berkarya. Sontak aku terpukul.
Perawakan si Nenek kecil. Kulitnya kuning, meski keriput sudah tak bisa lagi disembunyikan.Giginya habis dimakan zaman. Tapi, telinganya masih berfungsi dengan baik. Apa yang aku tanyakan bisa dijawab dengan baik.
Perbincangan ini mungkin biasa. Standar saja. Obrolan antara seorang muda dan renta yang siap menjemput Tuhannya. Hanya, menjadi spesial karena sikap si Nenek yang begitu hangat. Serasa, ruh nenekku yang sudah meninggal menjelma kembali. Dan aku menangkap aura itu. Tubuhku kucondongkan. Tanda aku ingin semakin tahu, tentang kondisi si Nenek.
'Mbah, pisang yang busuk itu diapakan Mbah?' aku menunjuk.
'Oh itu Nak. Buat roti,' ia menjelaskan. 'Cuma kulitnya saja yang item. Kena air hujan.'
'Ngoten Mbah? Begitu Mbah?'
Aku lihat seorang ibu dengan postur besar meringkuk. Tidur di siang hari. Pulas.
'Siapa itu Mbah?'
'Itu anakku Nak.'
'Jam berapa kalau berangkat ke pasar?' pertanyaanku sudah mulai seperti wartawan.
'Empat pagi dari rumah. Nata.'
'Dianter siapa Mbah?' Mulutku terus berkicau.
'Anak Simbah itu.' Ia menunjuk ke ibu yang tengah tidur.
'Ngoten njih Mbah. Begitu ya Mbah.'
Banyak pedagang pisang di sekitarku. Mereka sibuk menawarkan dagangan kepada siapa saja yang melintas. Tak ada perselisihan. Sempat aku berpikir, mengapa adem ayem saja jualan di sini. Di luar, sepanjang yang aku cermati, usaha di luar sudah saling menjatuhkan. Tapi di sini tidak. Apakah tingkat kedewasaan orang dahulu lebih teruji dibandingkan manusia zaman sekarang? Entahlah.
'Simbah kelihatan awet muda. Apa resepnya?' aku bertanya.
'Mangan godhong telo Nak. Makan sayur daun ketela.' Ia menjawab yakin. Dari sorot matanya, ia tak mengada ada.
'Tempe juga Mbah?'
'Iya Nak. Tapi jarang. Ya, seringnya daun daunan.'
Wah, tempe saja jarang. Sungguh, aku semakin terpesona. Di saat muda mudi sekarang menggilai dan terus memburu destinasi kuliner, masih tersisa insan seperti simbah ini. Apa adanya. Tapi, jika ini dipraktikkan di zaman sekarang, aku tak menjamin gayanya bertahan. Akan tidak eksis. Tersapu oleh kerasnya glamoritas kehidupan. Ah, siapa yang tahu? Dunia serba tak bisa dideteksi dengan cepat. Penuh kejutan.
'Simbah bungkuk ndak Nak?' tanyanya.
'Mboten Mbah. Tidak Mbah.'
'Kata anak anakku, simbah bungkuk.'
Dan satu pembeli datang. Mencari pisang Ambon.
'Nak, simbah ngelayani pembeli dulu ya.'
'Mangga Mbah. Saya juga mau balik. Matur nuwun.'
'Mangga Nak.'
Semua menjadi tahu. Dari pisang. Hanya pisang.
Meribut di www.andhysmarty.multiply.com
Post a Comment