Pasar Ikan, Pesta Ikan
Ikan tuna dibungkus daun pisang. Di pasar penuh sesak orang, berjubelan dengan keringat jatuh menimpa bumi. Di sebelah sana, tampak ikan bandeng terbujur kaku di dalam ember berisi potongan batu es. Cumi cumi mati bertumpuk di antara kepiting dan daging ayam. Penjual menawarkan dengan penuh rayuan. Pembeli hilir mudik, cuma menatap, tak tahu tertarik untuk sekadar menawar harga ikan ikan. Inilah pasar ikan, berbau amis, di pagi buta hingga siang menjelang sore.
Dengung suara petugas informasi dari kantor pasar, tak begitu jelas. Memberitahu jika seorang anak kecil lepas dari kawalan sang Bunda. Ibu ibu terenyuh, saling bertanya, apakah ada salah satu dari mereka yang tak sengaja melihat anak kecil meringkuk menangis di pojok pasar, di sisi tersembunyi pasar, di antara ribut lalat yang mengerubung udang udang.
Transaksi terus berjalan. Uang berganti letak, orang orang kaya ke para saudagar, untuk diputar kembali. Ikan ikan akan menuju penggorengan, atau alat pembakar di kebun kebun acara ramah tamah keluarga. Plastik keresek berbunyi nyaring, dijinjing para pembeli, selanjutnya dimasukkan ke dalam keranjang belanja. Betapa asyik kejadian ini. Dan hanya terjadi di pasar yang selalu menggugah rasa penasaran dan empati untuk sekadar berbagi kepada sesama.
'Ikan ikan, kalian tak perlu menangis. Aku tahu matamu tak bisa berkedip. Dan itulah yang kumanfaatkan.' kata saya.
Lalu saya mengucap beberapa kata kembali, 'Untukmu yang murah, kuberikan dirimu kepada kucing kesayangan. Kasihan mereka juga harus merasakan nikmatnya dagingmu wahai ikan ikan murah. Yang mahal masuk ke dalam perutku.'
Tak ada protes dari pihak ikan, mereka menerima takdir dengan tanpa cela dan umpat. Berjalan sesuai dengan garis yang semestinya. Ikan, manusia, dan kucing, selalu menjadi pembicaraan serius di tengah perkumpulan arisan ibu ibu.
Ikan, ikan, ikan, ikan, ikan, dan ikan.
Dengung suara petugas informasi dari kantor pasar, tak begitu jelas. Memberitahu jika seorang anak kecil lepas dari kawalan sang Bunda. Ibu ibu terenyuh, saling bertanya, apakah ada salah satu dari mereka yang tak sengaja melihat anak kecil meringkuk menangis di pojok pasar, di sisi tersembunyi pasar, di antara ribut lalat yang mengerubung udang udang.
Transaksi terus berjalan. Uang berganti letak, orang orang kaya ke para saudagar, untuk diputar kembali. Ikan ikan akan menuju penggorengan, atau alat pembakar di kebun kebun acara ramah tamah keluarga. Plastik keresek berbunyi nyaring, dijinjing para pembeli, selanjutnya dimasukkan ke dalam keranjang belanja. Betapa asyik kejadian ini. Dan hanya terjadi di pasar yang selalu menggugah rasa penasaran dan empati untuk sekadar berbagi kepada sesama.
'Ikan ikan, kalian tak perlu menangis. Aku tahu matamu tak bisa berkedip. Dan itulah yang kumanfaatkan.' kata saya.
Lalu saya mengucap beberapa kata kembali, 'Untukmu yang murah, kuberikan dirimu kepada kucing kesayangan. Kasihan mereka juga harus merasakan nikmatnya dagingmu wahai ikan ikan murah. Yang mahal masuk ke dalam perutku.'
Tak ada protes dari pihak ikan, mereka menerima takdir dengan tanpa cela dan umpat. Berjalan sesuai dengan garis yang semestinya. Ikan, manusia, dan kucing, selalu menjadi pembicaraan serius di tengah perkumpulan arisan ibu ibu.
Ikan, ikan, ikan, ikan, ikan, dan ikan.
BalasHapusBukankah kau benci ikan lele?
Guwa bilang kaga makan itu ikan Cing!
BalasHapus
BalasHapusKenapa ga mau makan? Enak lho...
Ade kumisnye
BalasHapus