Salesman Gigih Menawarkan HP Murah Meriah
Salesman telepon genggam itu ternyata titisan Dewi Angin-angin. Pantas saja, setiap pagi dia menelpon kantor. Menawarkan produknya dengan gegap gempita. Menerangkan keunggulan dan menutupi kekurangan, kadang diselipi penjatuhan kualitas pesaing, dia dengan percaya diri mengembuskan angin yang membius batin. Jiwa orang satu kantor. Berharap kami semua terhipnotis dan memercayai semua akal licik salesman bersuara sumbang itu.
Resepsionis kantor sudah menolak, berbagai alasan sudah diajukan, tapi salesman itu bersikukuh untuk bertemu dengan manajer kantor kami. Yang selalu disodorkan, dia sudah mengenal manajer kami sejak lama. Kadang hari ini berkata sebagai teman bulutangkisnya, hari lain dia mengaku sebagai teman bisnis kue sang manajer. Bagaimana tidak pusing si resepsionis, menghadapi lelaki penuh akal bulus ini membuat pekerjaan lain jadi terbengkalai. Terpaksa, sang penebar pesona, titisan Dewi Angin-angin, melangkah mulus ke keraton kami, ke kantor kami.
Punggungnya sering dibungkukkan, melantunkan dendang sopan santun ke seluruh awak kantor. Senyum terulas dari bibirnya yang hitam tanda dia seorang perokok ulung. Dia melangkah mantap menuju ruang manajer. Tanpa panjang lebar, sepuluh menit kemudian dia keluar dari ruangan. Wajahnya memerah, urat ditekuk-tekuk, masam, seakan ada sesuatu yang besar terjadi padanya. Harga dirinya sepertinya jatuh saat ini juga.
Tubuh bongsor sang manajer mengintip dari balik jendela. Seringai puas, dia tak mau dijadikan bulan-bulanan si salesman. Sepandai-pandainya salesman meloncat, dua tiga pula terlampaui, masih ada monster yang menghadang. Manajer dituntut untuk lihai melihat keadaan, cerdas memanfaatkan situasi, membombardir pertahanan lawan, jangan sampai berkutik. Dan manajerku membuat si salesman takluk, bagaikan terkapar di tanah seperti burung yang baru saja ditembak mati.
Masih diusut, bagaimana bisa si salesman penuh siasat itu tidak mampu menembus hati manajer kami. Setidaknya pemuda pembuat onar itu sudah tak sudi lagi bertandang ke kantor kami. Uang THR masing-masing karyawan bisa dialokasikan ke keperluan lain yang lebih mendesak. Membeli susu formula, membeli bahan masakan untuk lebaran. Lebih indah dibandingkan hanya berbuih-buih di ujung telepon.
Resepsionis kantor sudah menolak, berbagai alasan sudah diajukan, tapi salesman itu bersikukuh untuk bertemu dengan manajer kantor kami. Yang selalu disodorkan, dia sudah mengenal manajer kami sejak lama. Kadang hari ini berkata sebagai teman bulutangkisnya, hari lain dia mengaku sebagai teman bisnis kue sang manajer. Bagaimana tidak pusing si resepsionis, menghadapi lelaki penuh akal bulus ini membuat pekerjaan lain jadi terbengkalai. Terpaksa, sang penebar pesona, titisan Dewi Angin-angin, melangkah mulus ke keraton kami, ke kantor kami.
Punggungnya sering dibungkukkan, melantunkan dendang sopan santun ke seluruh awak kantor. Senyum terulas dari bibirnya yang hitam tanda dia seorang perokok ulung. Dia melangkah mantap menuju ruang manajer. Tanpa panjang lebar, sepuluh menit kemudian dia keluar dari ruangan. Wajahnya memerah, urat ditekuk-tekuk, masam, seakan ada sesuatu yang besar terjadi padanya. Harga dirinya sepertinya jatuh saat ini juga.
Tubuh bongsor sang manajer mengintip dari balik jendela. Seringai puas, dia tak mau dijadikan bulan-bulanan si salesman. Sepandai-pandainya salesman meloncat, dua tiga pula terlampaui, masih ada monster yang menghadang. Manajer dituntut untuk lihai melihat keadaan, cerdas memanfaatkan situasi, membombardir pertahanan lawan, jangan sampai berkutik. Dan manajerku membuat si salesman takluk, bagaikan terkapar di tanah seperti burung yang baru saja ditembak mati.
Masih diusut, bagaimana bisa si salesman penuh siasat itu tidak mampu menembus hati manajer kami. Setidaknya pemuda pembuat onar itu sudah tak sudi lagi bertandang ke kantor kami. Uang THR masing-masing karyawan bisa dialokasikan ke keperluan lain yang lebih mendesak. Membeli susu formula, membeli bahan masakan untuk lebaran. Lebih indah dibandingkan hanya berbuih-buih di ujung telepon.
Post a Comment