Sastra tidak untuk diperdebatkan, tapi dirobohkan! (Review acara Debat Sastra a la Petinju Geladak Kapal, TV Wan, Selasa 22 Juli 2008)
Sudah tiga novel super larisnya yang terus mengisi ruang pamer toko-toko buku. Masih tersisa satu buah buku penutup yang kabarnya ditawar berbagai penerbit terkemuka. Gosipnya, sampai tujuh ratus lima puluh juta rupiah. Uang royalti lima belas persen. Aku tak mampu menghitungnya. Yang pasti, banyak sekali. Menjadi jutawan akibat jerih payahnya menulis.
Ada kabar kabur lagi, dia ingin melancong ke negeri atap dunia. Menancapkan bendera bangsa di Pegunungan Everest. Alangkah mulianya hati sang penulis itu. Bercita-cita besar memajukan bangsanya melalui keadilan pendidikan. Makanya, dia menceritakan memori indahnya melalui guratan penanya. Bukan pena, melainkan ketikan di komputer canggihnya—yang tak lagi memakai Windows, Linux murah meriah.
Debat terbuka sastra di televisi pemilu. Mendompleng momen panas pemilu, tiga sastrawan dikupas dan ditilik cara pandangnya. Ada yang dieksekusi mati dan dikenal sebagai sastrawan selangkangan. Ini tak tanggung-tanggung, yang memfatwa adalah Topik Ismael, guru sastra teralim bangsa Rindunesia. Yang kedua, sastrawan dan dosen sebuah perguruan tinggi di tanah air. Siapa yang tak kenal beliau? Harap periksa ke dokter mata. Helpi Salma Rosela. Dan yang ditunggu-tunggu, tak lain tak bukan ... si Kribo. Dia mengaku bukan orang sastra, tapi anehnya mau diajak ngomong sastra. Memang agak susah dipegang omongannya.
Seperti biasa, obrolan ke timur-barat-tenggara-berputar lagi-selatan-utara dimulai. Mengupas sastra si presenter bilang. Memperbandingkan sastra syahwat melawan sastra kontemplatif. Memojokkan, mencakar, menggaruk, melempar ucapan panas, dan aneka penjelasan. Penulis aliran sesat melawan penulis taat norma. Sudah diatur sedemikian rupa agar acara ini seru. Rating televisi dibidik.
Tibalah saatnya si Kribo bicara. Seperti biasa, sama dengan novelnya, dia selalu menjelaskan secara ilmiah. Sastra begini, dan harusnya begitu. ‘Saya menciptakan novel tetralogi ....’ Buih putih ke luar dari mulut cerdasnya. Memukau nalar menguatkan iman. Penjelasan-penjelasan kritisnya menampar penulis beraliran seks. Tak jarang sastrawan berkerudung di sebelahnya juga dia tampar. Libas habis tak bersisa. Yang ada hanyalah ‘Inilah diriku. Ikuti aku atau kau akan mati!’.
Tibalah aku memutuskan mematikan nyala televisi. Membunuh dialog lomba-lombaan sastra. Pencari siapa yang lebih unggul memiliki sesuatu yang bernama ‘sastra’.
“ ... Di Singapura, anak-anak sekolah sudah disuguhkan sastra ... Bagaimana mengubah kesukaan mendengar dangdut ke jazz ....”
Dangdut ... Jazz .... ?
Apa ada yang salah dengan musik dangdut? Dianggap rendahkah?
Ujian itu telah dilalui penulis mega bestseller dadakan yang kini sombong. Tak salah aku sejak awal merasa cemburu kepadanya. Aku sudah curiga dari awal dengan buku-bukunya yang penuh dengan glosarium. Menganggap pembaca tak pandai. Itu yang kurasa. Entah orang lain. Setidaknya, malam itu aku makin memantapkan untuk menantangnya. Aku mencoba untuk terus mengolah gaya tulisanku, yang entah kapan akan terbit.
Aku belajar dari si Kribo yang telah membumbung namanya. Kecongkakannya yang mengatakan musik A lebih baik daripada musik B. Jazz adalah urusan pribadi dan tidak bisa dipaksakan. Dangdut juga memiliki kelebihan yang tidak mampu disamai oleh jazz. Massa, apakah jazz a la si Kribo bisa menarik orang banyak?
Ternyata menjadi penulis terkenal tidak mudah. Aku belajar dari si Kribo yang perlahan SOMBONG.
BalasHapusAh, Abang...... Mengapa memaksakan segala hal untuk senantiasa logis, rasional, dan ilmiah? Sastra dan musik adalah ranah yang tak terjamah kuliah sore dosen gagap, tak tersentuh bilangan-bilangan eksakta dan segenap variabel yang membuat dahi mengernyit. Kiranya, memang tak mudah menjadi orang pintar, sebab yang paling susah dilakukan orang pintar adalah menjaga stabilitas pemikirannya.
Dan aku tak gemar akan dangdut ataupun jazz. Aku yang gagap sastra ini terpaksa harus berakrab diri dengan metal, sekian terima kasih.
Aku bukan penghamba logis/tidak logis.
BalasHapusKarya sastra tidak harus rasional.
Yang pasti, geboy aja lahhh ....
BalasHapusGoyang Maaaaannnng.......
Ajeb, ajeb, ajeb.........
Ya betullll
BalasHapuskita semarakkan dunia dengan ide2 cabul kita
emang enak jadi guru bahasa rindunesia?
Aku jadi ingat, kenapa ya aku selalu kedip2 kalau lihat guru bahasa
aku sempat diusir 'Andhy, cuci muka!'
itu guru biologi ding.
kalau guru bahasa, aku biasanya garuk2 pantat saking gatalnya
Sudah pernah kuceritakan tentang guru Bahasa Indo-ku yang make up-nya mirip PSK Dolly? Ah, maafkan Alfa, Bu!!!
BalasHapusIya ... kamu musuhin dia ya?
BalasHapusDasar. Kamu anak sekolah atau bandit pasar sih?
sukanya tawuran. apa ga ada PS di daerahmu?
atau mau bikin upacara api unggun bakar buku, buat datengin Jin?
BalasHapusAbis dia ngomongnya saru sih.... Nah gaya bahasaku yang nyeleneh ini merupakan hasil didikannya, biar kau tau...... Crot.
yeee ... jangan salahkan bunda mengandung dong.
BalasHapusSalahkan ayah yang selalu merajalela mengeruk keuntungan di malam buta dan di pagi subuh yang dingin hingga ibu menderita nestapa tanpa perlu meraung-raung aku tahu hatinya hancur tak keruan dan ingin keluar dari permasalahan keluarga yang serasa tak pernah putus dan ingin menanti masa depan yang cerah sehingga anak-anak mampu menulis dengan baik maka dipanggilah guru les privat yang selalu sayang kepada anak didiknya dan berhasil menjadi penulis yang berguna bagi nusa dan bangsa seolah hidup ini hanya milik kita berdua, Sayang.
Baca dalam satu tarikan napas, Coy.
BalasHapusCrot aja deh.
Dan? Kau tak tertarik untuk melakukannya?
BalasHapusBaiklah, aku ganti sesuatu yang aku rasa kau sukai.
Aku akan memberimu seunting bayam. Dan sekerat roti. Apa yang akan kau lakukan Kisanak?
Ampunilah sahaya, Gusti.... Sebenarnya ingin sungguh sahaya melakukan apa yang Gusti titahkan.... Namun apalah daya seorang hamba, Gusti.... Mata-mata Kahuripan bertebaran dimana-mana, mengintai setiap gerak-gerik sahaya, sahaya masih terlalu takutkan kepala ini akan pisah dengan leher, Gusti.... Mohon ampuni sahaya, Gusti...."
BalasHapus*terisak*
Mati aja repot minta diacarain gimana.
BalasHapusMau ditembak, minta gantung.
Minta digorok
Lahhhh ....
BalasHapusMbuh laaaahhhh, Dab.... Dab, Sob, Jeeeee, tralala trililiiii....
Kau kehabisan amunisi?
BalasHapusTidurlah, tidur, tidur ....
Peri malam akan mendongengi kamu dengan "Sejarah Musik Metal"
BalasHapusSsssttttt kualat kau!!! Tugasnya bukan mendongeng untuk bocah krisis identitas, melainkan tugasnya adalah meniupkan teluh ke ubun-ubun Editor Sableng!!! Jaga ucapanmu!!!
Bentar lagi aku ga editor. Freedommm
BalasHapus
BalasHapusWah, sayang loh.... Padahal aku belum pernah karya tulis hasil suntinganmu.
Silakan kecewa.
BalasHapusBentar lagi aku mau adu untung jadi mahasiswa lagi.
Mau cari beasiswa ke LN
doakan saja
Moga Allah memberiku kekuatan n tetap tabah. Juga optimis.
Silakan kecewa.
BalasHapusBentar lagi aku mau adu untung jadi mahasiswa lagi.
Mau cari beasiswa ke LN
doakan saja
Moga Allah memberiku kekuatan n tetap tabah. Juga optimis.
BalasHapusSeribu amin untukmu, Sob, Dab, Jeeeee....
Mungkin Tuhan menginginkan diriku berkarya di lain tempat.
BalasHapusDan tugasku mencarinya.
Aku hanya bisa berusaha, dan itu akan kulakukan sekuat jiwaku.
Sepenuhnya yakin, ada jalan lebih baik.
Sekarang, lagunya gini:
"Dunia kini terbuka. Setelah ia kubungkam sementara waktu. Hasratku untuk menanami dengan aneka keindahan. Bersama angin, tanah, air, dan napasku."
hehehe
BalasHapusPergilah ke laut, Teman.... Kiranya patut kita benarkan bahwa semangat bahari dan pandangan kelautan akan meluaskan perspektif, dan semangat agraris hanya akan merampok tanah-tanah rakyat.... Loh itu kata siapa ya?
:p
Pasti aku akan ke sana, Sayang.
BalasHapusAkan kulihat burung camar. Ia melayang, tersenyum, dan muntah ketika melihat ada orang seperti aku. hahaha
BalasHapusDan sebegitulah pesonamu: muntahkan camar dan pasangkan gelombang.
Aku rasa burung camar lebih tulus dan tidak tuli dibandingkan para genius yang ternyata BUSUK!
BalasHapus
BalasHapusAih!!! Camar, hentikan mantan editor itu dari repetannya!!! Ia telah melukai marwah institusional!!!
Kan, aku bilang gitu saja dibilang aku melukai.
BalasHapusSebenarnya kita itu pengin maju tidak?
Aku berseni melalui kata. Aku menampilkan jiwaku. Aku ingin andil dalam perubahan yang elegan ini. Aku ingin DIHARGAI. eh yang ini tidak.
Kenapa denganku ya? hehehe
Kok tambah cerdas sih
BalasHapusLah, justeru karena tak banyak orang sepertiku yang mampu bertahan dengan kesablenganmu makanya banyak yang merasa terhujam akibat kenakalanmu.... Jangankan ucapanmu, melihat potomu yang a la Ahmadinejad saja sudah banyak yang eneg....
Ah, bukan kau yang tambah cerdas, tapi akulah. Akibat terlalu banyak bergaul dengan almarhum Editor Sableng.... Huhuhu.... Aku sedih, aku teringat padanya T_T
Kenapa harus menyesal!
BalasHapusToh aku dah memutuskan. Aku menyesal jika aku tidak memutuskan jalan hidupku sendiri. Itu lebih menyakitkan. Dan aku selamanya terkurung di dalam tembok derita si Meggi Z. Itu orang kok ya mau-maunya jadi yang terakhir di dunia ini.
Yang pasti, rencana Tuhan lebih rapih dibandingkan kita yang sok cool, sok menor, sok genius. Horassssss
BalasHapusBah!!! Memang tambah cerdas kau sekarang, Bung!!! Angkat gelasmu, Kedan!!! Tabo na i, ate?!!!
Lah kenapa harus angkat gelas?
BalasHapusKita bukan di istana peri. Berada di gubuk derita a la negeri ini yang semua orangnya sakauw, harus berani memilih. Atau kau terlindas oleh buldozer bernama sebuah Ketiak Tanpa Rambut! Enak dilihat tapi sangat menyakitkan buat lelaki.
Dan, aku sedang memilih. Atau, aku hancur dalam memilih. Sepenuhnya usaha tanpa pernah lelah :P Semangat 10 November harus digelorakan, tidak cukup di Gelora Bung Karno, tapi gelora di bawah celana dalam setiap insan