Perpisahanku dengan Shantie di Bandara (A la AADC)
“Setelah aku sampai di sana, aku akan menelpon Mas.” Nada suaranya begitu bersemangat. Tak lupa dia mengecup pipiku.
“Jangan lupa Dik, cium tanah Australia yang pertama kali kau injak. Bisa membawa berkah.” Gurauku.
“Ah si Emas ada-ada saja. Semua negeri itu sama, jadi tidak usah berlaku berlebihan seperti itu.”
“Ah siapa bilang? Kau memutuskan bersekolah lagi ke luar negeri berarti tanah yang kauimpikan itu berbeda. Menyimpan pesona yang ingin kauhirup.”
“Mas, kamu terlalu romantis. Itu yang aku suka darimu. Entah bagaimana jika aku kangen sama Mas. Chating tak akan melegakan rasa rinduku, Mas. Telepon jarak jauh juga akan menggembosi dompetku. Paling aku akan peluk guling dan membayangkan wajah Mas.”
“Kamu itu ya ... cara bicaramu sastra sekali. Kata-kata aneh selalu menjadi daya tarikmu padaku.”
“Sama saja. Apa aku tidak mati kaku kalau Mas bicara? Meresap di hati dan memukul-mukul jantungku.”
Shantie-ku tertawa lebar. Aku pun mengikutinya.
Tinggal sepuluh menit pesawat akan membawa tubuh kekasihku terbang. Kami saling berpelukan dan mengucapkan kalimat sayang berharap janji setia tetap dipegang. Aku tak takut andai dia tertarik dengan orang bule di sana. Aku tahu persis hati Shantie yang tak mungkin berselingkuh hanya dengan alasan jauh dariku. Kami telah mengenal satu sama lain.
Setengah tahun lagi aku menyusul terbang ke Australia. Bertemu kembali dengan Shantie, pujaanku.
Post a Comment