Header Ads

Nyi Shantie, Sang Pengisap Darah

“Jangan pernah mengusikku. Jika kau membuatku jengkel atau marah, dijamin kepalamu lepas dari lehermu!” ancam Nyi Shantie dengan suara penuh tekanan.

            Nyi Shantie terkenal sebagai perawan yang ganas. Emosinya selalu meledak-ledak tak terkontrol. Tatap matanya sering kali membuat orang di sekitarnya tunduk. Takut jika saja mereka mendapat umpatan dari Nyi Shantie. Suasana desa akhir-akhir ini menjadi keruh semenjak penyakit darah tinggi perawan itu kambuh. Setiap orang yang lewat di depan rumah Nyi Shantie, pasti terkena dampratan atau usiran.

            “Heh, ngapain kau lihat-lihat aku? Pengin matamu kucungkil sama linggis, ya?”

            Anak-anak kecil lari terbirit-birit mendengarnya. Bayi pun pasti akan menangis mendengar suara Nyi Shantie yang menggelegar menusuk perasaan. Dia sepertinya selain terkena darah tinggi juga sakit hati yang meradang karena tak ada seorang lelaki pun suka kepadanya. Bagaimana kumbang tertarik kepada bunga bangkai seperti dia, mulutnya saja serasa tak pernah disekolahkan. Apapun yang ada dalam otaknya, selalu dia keluarkan. Tak peduli apakah ucapan itu menyakiti perasaan orang lain atau tidak.

            “Pak Kyai. Ngapain ikut-ikut orang-orang bejat itu? Aku sudah muak, aku sakit, aku tersiksa. Jangan tambah sakitku dengan nasihatmu Pak Kyai. Kehadiran Bapak tak akan mengubah takdirku. Aku sudah ditakdirkan sebagai manusia tak berguna yang hanya bisa mengutuk orang lain. Aku manusia bejat Pak Kyai. Tolonglah aku Pak ....”

            Nyi Shantie menangis sejadi-jadinya meluapkan semua ganjalan yang selama ini dia pendam. Mendekat sambil mengucapkan lirih kalimat doa, Pak Kyai mencoba masuk ke dalam jiwa Nyi Shantie yang kosong. Berusaha mengambil hati perawan itu agar mau mengungkapkan segala kekesalannya, hingga meluap lepas semua beban.

            “Nyai, sebenarnya apa yang menjadi pangkal permasalahan Nyai? Uang Nyai berlimpah, kecantikan telah diberikan Tuhan, juga kepandaian tak terkira Nyai sandang, apa yang menjadi beban Nyai, bolehkah saya mengetahuinya? Sedikit saja.”

            “Pak Kyai, saya merasa ...,” agak ragu wanita itu meneruskan perkataannya. Tembok masih belum terbuka hingga membuat pak Kyai memutar otak agar Nyi Shantie berterus terang.

            “Apakah masalah percintaan, Nyai?”

            “Bukan, bukan itu yang menjadi permasalan saya. Tapi ....”

            “Boleh saya tahu, Nyai?”

            “Berjanjilah Pak Kyai untuk merahasiakan semua ini. Maukah Pak Kyai?”

            “InsyaAllah saya akan memegang amanat yang diberikan Nyai.”

            “Mmm ... saya jatuh cinta sama Pak Kyai.”

            “Hah ... Nyai suka sama saya? Bagaimana bisa? Saya sudah beristri, Nyai!”

            “Terus terang saya melakukan hal ini, mengumpat orang yang lewat dan menyumpahi mereka, untuk memancing Pak Kyai ke luar dari rumah. Menarik perhatian Bapak. Saya sudah lelah mencari materi, dan saya ingin Bapak mengisi ruhani saya. Membimbing saya yang kering ini.”

            “Maaf, Nyai. Saya sudah beristri!”

            “Tak masalah saya menjadi madu, Pak Kyai. Saya akan membaktikan diri saya kepada Bapak.”

            Pak Kyai kelimpungan. Niat baiknya untuk membantu Nyi Shantie berubah total karena wanita itu nekat mengatakan cinta. Cinta, pangkal kemarahan perawan itu. Dan ini seakan membuat masalah baru.

            “Nyi Shantie, saya belum bisa menjawab. Saya pikir-pikir dulu di rumah.”

            “Saya berharap Bapak bersedia menjadikan saya istri kedua.”

 

Tidak ada komentar