Header Ads

Kelakar Berujung Dusta ('Tertawalah Sebelum Tertawa Dilarang', a la Warkop DKI)

Jangan pernah berkelakar. Gurauan akan menjadi salah paham. Lelucon menjadi serius tak terkendali. Berbuah karma berbalut olok-olok yang kekanak-kanakan. Berawal dari canda, hubungan merenggang karena dusta. Ingkaran hati yang meletup akibat bertumpuknya beban hidup. Dan kelakar menjadi kambing hitam.

            “Kau terlalu berlebihan!”

            “Saya tidak mengerti maksud dirimu.”

            “Kau menghinaku. Melecehkanku!”

            “Saya tidak bermaksud seperti itu. Bukankah kita sedang bercanda?”

            “Hatimu busuk. Kau mencercaku di hadapan orang banyak!”

            Entah siapa yang memulai. Penderita dan penyebab saling bertindih. Hati mereka tertukar; yang satu menyalahkan, sebaliknya satunya tak mengerti. Salah paham. Hati salah seorang sedang rusuh, sedangkan yang satu benar-benar tak mengerti. Tak habis mengerti bukankah sebelumnya mereka tertawa-tawa? Menikmati setiap kata yang keluar dari tulisan dan obrolan santai mereka. Hingga berujung emosi yang meledak di satu sisi jiwa. Salah siapa dan mengapa bisa terjadi?

            Memang tak ada takaran pasti seberapa besar tingkat kelayakan saat bercanda. Tidak seratus persen, ataukah separuh harga, mungkin juga sepertiga ukuran. Susah untuk mengira-ngira. Sepertinya bukan satu harga, melainkan permainan ukuran di sana-sini. Kadang kita memuncakkan perasaan, menguranginya di tengah perjalanan, bahkan menghentikan jika diperlukan. Tak perlu langsung tembak habis. Bercanda memang membutuhkan pengaturan ritme agar lebih dinamis. Tak ada satu orang yang dirugikan. Biar semua menikmati dan mencecapi keindahan gurauan.

            Belajar bergurau dengan makna yang tercecer di mana-mana.

 

Tidak ada komentar