Celana Teman Kos Merosot, Wuihhh ....
Kuperhatikan gadis itu membenarkan posisi celananya yang kedodoran. Beberapa kali. Mungkin tiga kali. Tak sampai menjadi tindakan asusila memang. Tapi, ingatan itu menjadikan perkenalanku dengan gadis Minang itu kembali menyeruak.
Teman kos baruku. Namanya Delima (sebut saja begitu, seperti nama gadis di acara Patroli). Umur ... Mmm, masih sangat ranum, 22 tahun lebih sedikit. Yang bikin aku selalu mengingatnya adalah giginya yang seperti Madonna, belah di gigi seri atasnya. "Seksi sekali!" teriakku bersemangat.
Saat ini, dia sudah kembali ke haribaan ibundanya (bukan Tuhan, ya, catet!). Meninggalkan Uda sendiri, Huwo huwo ... Melanjutkan kuliahnya yang terpotong karena kerja praktek di Bandung.
Waduwww ... Bayangan itu, selalu menghantuiku hingga seperti mengajakku ke awan tingkat berapa, ya, enaknya? Celana hijau itu naik turun, berikut mata "binal"ku. Aku hanya menginsyafi dengan menutup wajahku dengan kesepuluh jariku yang meregang-menutup. Persis seperti adegan si Kuntil Anak merayu tukang penjual nasi keliling. Apaan, sih ....
Ekspresi wajahku saat itu memucat bagaikan mayat. Tapi, mendadak merona merah seperti buah tomat segar yang enak kalau dijus, tapi tanpa es ya. Jadi JU...
Aku menyerah .....
Dia memiliki kegemaran yang sama denganku, membaca buku dan tenggelam dalam lautan kata-kata di dalamnya. Awalnya, kesan yang dimunculkan, dia gadis yang pemalas karena tak pandai memasak, bicara pelan, dan terlihat selalu lesu. Tapi, setelah mendekati hari H kepergiannya, mendadak penilaian yang kubuat buyarrr seketika.
Aku mulai ulik kegemaran dia, dan aku ceritakan pekerjaan baruku dengan segenap kesibukan memilih dan memilah kata, dia akhirnya berbicara dengan amat cerdasnya. Intonasinya ciamik, kata-katanya bertuah, dengan segenap pengalaman hidupnya yang aduhai. Oh, Delima ... Mengapa engkau hanya mengintipi hatiku dengan sangat cepat!
Wajahnya putih mulus. Pancarannya bukan karena make up, akan tetapi karena basuhan air wudlu. Aku menghela nafas panjang saat menulis ini.
Celana hijau yang merosot tadi, seakan tak sebanding dengan keindahan yang kau letupkan dalam hitungan detik itu. Tak pantas aku menilaimu dari kesembronoanmu. Layaknya, aku menilaimu dari segenap nilai yang memang pantas kau sandang.
Delima, aku tahu kau telah menjauh. Tapi, aku yakin akan menemuimu. Aku berjanji akan menjadikan tulisan ini sebuah prasasti bahwa aku akan berjuang menghadapmu. Membawa segenggam kado buatmu. Semangatku!
Teman kos baruku. Namanya Delima (sebut saja begitu, seperti nama gadis di acara Patroli). Umur ... Mmm, masih sangat ranum, 22 tahun lebih sedikit. Yang bikin aku selalu mengingatnya adalah giginya yang seperti Madonna, belah di gigi seri atasnya. "Seksi sekali!" teriakku bersemangat.
Saat ini, dia sudah kembali ke haribaan ibundanya (bukan Tuhan, ya, catet!). Meninggalkan Uda sendiri, Huwo huwo ... Melanjutkan kuliahnya yang terpotong karena kerja praktek di Bandung.
Waduwww ... Bayangan itu, selalu menghantuiku hingga seperti mengajakku ke awan tingkat berapa, ya, enaknya? Celana hijau itu naik turun, berikut mata "binal"ku. Aku hanya menginsyafi dengan menutup wajahku dengan kesepuluh jariku yang meregang-menutup. Persis seperti adegan si Kuntil Anak merayu tukang penjual nasi keliling. Apaan, sih ....
Ekspresi wajahku saat itu memucat bagaikan mayat. Tapi, mendadak merona merah seperti buah tomat segar yang enak kalau dijus, tapi tanpa es ya. Jadi JU...
Aku menyerah .....
Dia memiliki kegemaran yang sama denganku, membaca buku dan tenggelam dalam lautan kata-kata di dalamnya. Awalnya, kesan yang dimunculkan, dia gadis yang pemalas karena tak pandai memasak, bicara pelan, dan terlihat selalu lesu. Tapi, setelah mendekati hari H kepergiannya, mendadak penilaian yang kubuat buyarrr seketika.
Aku mulai ulik kegemaran dia, dan aku ceritakan pekerjaan baruku dengan segenap kesibukan memilih dan memilah kata, dia akhirnya berbicara dengan amat cerdasnya. Intonasinya ciamik, kata-katanya bertuah, dengan segenap pengalaman hidupnya yang aduhai. Oh, Delima ... Mengapa engkau hanya mengintipi hatiku dengan sangat cepat!
Wajahnya putih mulus. Pancarannya bukan karena make up, akan tetapi karena basuhan air wudlu. Aku menghela nafas panjang saat menulis ini.
Celana hijau yang merosot tadi, seakan tak sebanding dengan keindahan yang kau letupkan dalam hitungan detik itu. Tak pantas aku menilaimu dari kesembronoanmu. Layaknya, aku menilaimu dari segenap nilai yang memang pantas kau sandang.
Delima, aku tahu kau telah menjauh. Tapi, aku yakin akan menemuimu. Aku berjanji akan menjadikan tulisan ini sebuah prasasti bahwa aku akan berjuang menghadapmu. Membawa segenggam kado buatmu. Semangatku!
Wah, nyam-nyam dong ... tapi ingat istighfar ya...
BalasHapusSaya nggak nakal, kok, mbak ... Cuma ngambil jemuran milik anak kos. hehehe
BalasHapusck ck ck.. sapa lagi nih delima? kemaren duren, kemarennya kesemek, besok apa lagi...??? duwet? kamu mo ngerujak yaaa???
BalasHapusBisa saja kamu! Yang pasti, identitas si pelaku sangat dirahasiakan oleh mas polisi. Jangan sampai dia malu akibat cerita ini!
BalasHapus
BalasHapusIyokan di urang lalukan di awak!!! Hehehe......
ah roamingggg ... aku tak tahu bahasa kau!
BalasHapusLoh, itu bahasa Minang loh Mas......
BalasHapusYa aku bukan orang Minang, jadi ndak tahu ...
BalasHapus
BalasHapusSaya juga bukan Minang, tapi saya sering dengar istilah itu...... Kan topik pembahasan kita hari ini adalah Uni Delima, bukan?