Header Ads

Ketika Para Istri Enggan Memakai Nama Suaminya: Sebuah Kudeta Harga Diri

'Apa salahnya memakai sepenggal nama suami di belakang nama aslimu?'

Kalimat tanya yang tepat untuk menjungkirbalikkan pendapat para istri penganut garis keras. Mencatut nama suami untuk ditempel di buntut nama istri memang bukan kewajiban. Tapi setidaknya ini merupakan tanda bakti, bukan penghambaan. Suami sudah berjuang mati matian mencari nafkah untuk keluarga, memeras otak sampai keriting, hanya meminta sang istri memakai namanya, berujung PROTES.

"Aku tak mau nama cantik pemberian orangtuaku terampas." sebut saja Mawar, 25 tahun. Ia tak rela nama sukunya ternodai oleh nama kampung suaminya.

"Iya, aku risi. Geli mendengarnya." sahabat wanita itu ikut ikutan berpendapat.

Para suami salah tingkah. Beristri seorang feminis sama halnya mengajukan diri sebagai martir. Harga diri seorang lelaki diinjak injak untuk mengikuti kerasnya pemikiran sang istri. Dan jalan keluar terbaik adalah membiarkan istri menjadi dirinya sendiri. Cukup dicekok uang bulanan, dan ia tak banyak berkicau. Untuk selanjutnya para suami bergabung di Perkumpulan Suami suami Takut Beneran Sama Istri.

Dan jangan kaget, akan segera bermunculan nama aneh, nama belakang suami memakai nama istrinya:
Budi Permata Sari
Susilo Bambang Srikandi Wati.
Yusuf Tika Panggabean
atau, Prabowo Sekar Asmara.

Aneh sekali.

37 komentar:

  1. Ketika Para Istri Enggan Memakai Nama Suami Mereka: Sebuah Kudeta terhadap Harga Diri--red

    BalasHapus
  2. Noh, aku ngetik judulnya aja ampe ngeri. Takut dibacok ama feminis. Ha6. Piss

    BalasHapus

  3. Kalo biniku bernama Alfa juga, sepertinya bakal seru ya? Lantas, anak-anakku juga menyandang nama Alfa. Payah, ndak kreatib.

    BalasHapus
  4. Me nggak pakai nama suami, nggak ada dalam ajaran Islam :-)
    Keturunan itu mesti jelas, maka tetap nama lama yang dipakai
    Coba orang sini nikah 4 kali pusing deh ganti nama melulu he..he..

    BalasHapus
  5. emang wajib gitu? sama deh sama mom Me :D

    BalasHapus
  6. @ Alpha: Alfa Alpha. Aneh.Hi6

    @Mpok Me feat Ibutio: Atur saja deh, Para Mommy ku. Yang paling penting, anak kalian eni dikasih uang jajan lebih. Ntar Papi aku sogok. Asal Mommy nyaman, aku rela ko. Hi6

    BalasHapus
  7. kamu berlebihan,ah, An.... :D Masa harga diri suami tergantung dari kesediaan istri memakai nama suami dibelakang namanya? keiciiaaannnn....hanya segitu ternyata harganya, haha..

    btw...punya istri feminis, bakal diam jika dikasih duit?? keliru besar!! cewek feminis pinter cari duit sendiri, kan mandiri, wekk :P

    BalasHapus
  8. Alah sak karepmu, Nov.
    Aku cuma ngedhobos kok.
    Cuma pengin mancing emosi para feminis. Wuhaha.
    Feminis, ekstrimis, tahu tumis, apalah maknanya?
    Yang pasti, kita adalah 'Berpacu dalam Melodi'.

    BalasHapus
  9. :P nih feminisnya udah dateng...arep disuguhi opo je

    BalasHapus
  10. Dikasih Kembang Setaman.
    Biar dia Njathil, Nglumping makan beling. Ha6

    BalasHapus
  11. iihh... kembang setaman itu siyh udah punya banyak. Minta yg laen :D

    BalasHapus
  12. Oh Ai Si.
    Tak kasihke kau ke Syekh Puji.
    Biar para feminis dicuci otaknya. Ha6
    n jadi bebi lagi. Awas prot prot protes.

    BalasHapus
  13. ah syekh puji mah udah ada yg ngurus...ga perlu para feminis trun tangan lah....ada om komnas anak n mbah-mbah di MUI, haha...

    BalasHapus
  14. Bawang keriting sekilo sekarang berapa ruviyah?

    BalasHapus
  15. ih kok malah jadi pedagang sayur seh ?!

    BalasHapus
  16. Oh salam kirim. Td mau tak kirim ke Mentri Ekonomi. Salah malah ke MUI. Kyai2nya lagi ninjau pembangunan masjid. Horas

    BalasHapus

  17. Nikinput Idhandy. Idhandy Nikinput. Pantas benar.
    Siapa bini, siapa suami? Hihihi.

    BalasHapus
  18. Idhandhy Alpha...Alpha Idandhy.....jauh lebih pantes :P

    Anndhyyyyyyyy............bojomu cemburu, ki :D

    BalasHapus
  19. Kalo kaos ada ukuran unisex. Uni uni Padang lagi jual nasi. Pada edan kabeh. Ha6

    BalasHapus

  20. Hus, ndak sopan. Aku gak mau jadi bojo Idhandy kalo potonya masih sejelek itu, macam orang penyakitan. Malu aku, apa yang harus kukatakan pada teman-teman arisan....

    BalasHapus
  21. Halah, bertamu ke rumah wong sableng saja kok mesti waras-waras.... Nanti dianggap tak menghargai tuan rumah >:p

    BalasHapus
  22. No comment. Lagi sariawan. Masakan Yogya kok bergeser jd pedas. Aneh

    BalasHapus
  23. Pasti juru masaknya Uni-Uni Padang.
    >:p

    BalasHapus

  24. Masakan Mandailing tuh nanggung. Antara Minang dan Batak. Jadi tak terlalu pedas.

    BalasHapus
  25. Maka tugasmu mencari dirimu yang nanggung. Mantapkan jika kau berciri. Wataw

    BalasHapus

  26. Kalau sudah jumpa diriku, mana mungkin sebingung sekarang. Ciriku: muka seram, brewok, baju hitam.

    BalasHapus
  27. Dan aku tekan tombol pause. Aku mainkan spidol warnaku. Kupermak kau.

    BalasHapus
  28. Mengapa setelah menikah, perempuan harus memakai embel-embel nama suaminya? Juga untuk menunjukkan bahwa dia adalah ‘milik’ suaminya? Ato, seperti secara ekstrim, setelah menikah, sang istri menjadi barang milik suaminya? Dalam taraf ekstrim, hubungan istri-suami sama dengan hubungan anak-orang tua. Istri milik suami, anak milik orang tua. Dengan alasan cinta, orang tua ‘menentukan’ apa-apa yang ‘seharusnya’ dilakukan oleh sang anak. Kadang, tanpa mau tahu apakah anak keberatan ato tidak.

    Dalam kultur patriarki di mana kita tinggal sekarang ini, baik anak maupun istri diwajibkan untuk patuh kepada orang tua maupun suami. Timbal baliknya, atas fasilitas yang disediakan oleh orang tua untuk anaknya, si anak harus menurut apa pun kata orang tua, melakukan apa-apa yang orang tua tentukan; sedangkan atas fasilitas yang disediakan oleh seorang suami kepada istrinya, si istri harus mengikuti semua kehendak suami, termasuk melayani kebutuhan seksualnya. Tak salah kalo kemudian para feminis radikal mengatakan bahwa perkawinan adalah praktek prostitusi eksklusif. Aku menyebutnya perbudakan.

    Pemakaian nama suami oleh para perempuan akan selalu mengingatkan mereka bahwa mereka adalah “milik” suami mereka. Sedangkan lelaki tidak memakai nama istri mereka, sehingga mereka tidak akan selalu merasa bahwa mereka telah “dimiliki” oleh seseorang, yakni istrinya. Bahkan banyak di antara kaum lelaki itu dengan nyamannya mengaku “belum menikah” untuk kemudian menggombali perempuan lain, yang berarti mereka menganggap istri mereka tidak ada. Bahkan, tak sedikit pula yang “mematikan” istrinya, dengan mengatakan, “istriku mati dalam kecelakan mobil beberapa tahun lalu”.

    Inilah akibatnya jika perempuan menikahi lelaki bodoh dan hanya tergiur dengan hartanya saja, sehingga rumah ibarat sebuah perusahaan. Lelaki paling berkuasa adalah si suami yang cuma bisa memenuhi kewajibannya saja tanpa mau tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan dunia ini. Dia memberikan uang, baju, dan tempat tinggal, lalu boleh berbuat seenaknya, karena seisi rumah itu adalah miliknya. Jadi, agar perbudakan ini tidak lagi berlanjut mestinya hal-hal tentang Kesetaraan perempuan dan laki-laki ini harus segera berubah dari tataran ideologi menjadi ilmu, dan bukan lagi sekedar wacana, tetapi juga harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

    Bayangkan jika kau punya anjing yang dilabeli namamu di lehernya, apakah begitu juga kedudukan istri dan anakmu?

    BalasHapus
  29. Sori ada yang kudelete. Terlalu panjang dan menggurui hehehe. Sori banget. hahaha.

    BalasHapus

  30. Eh? Komenku, bukan? Rasanya aku ndak pernah lagi ngomeni posting ini? Lagian tumben kau maen apus aja, biasanya kau lawan?

    BalasHapus
  31. Bukan. Wegah aku frontal2an. Ga tau isine apa. Panjangnya kaya rambutku.

    BalasHapus
  32. Bukan. Wegah aku frontal2an. Ga tau isine apa. Panjangnya kaya rambutku.

    BalasHapus