Header Ads

Pengaduk Jamu Bahenol

    Kluthik, kluthik, kluthik.
    Perempuan setengah baya itu mengaduk jamu diiringi goyangan samarnya yang membuai. Bahasa tangannya juga membuat hatiku terkesiap. Sebentar-bentar dia melirikku dengan pandangan aneh. Tak sampai lidahnya menjulur, tak pula liurku menetes. Aku masih bisa menahan berahiku, menekannya hingga tak meluap di ubun-ubun. Tapi jujur saja, perempuan itu membuatku terpesona.
    "Mas pakai telor ndak? Biar lebih jos. Bisa bikin si dedek kuat lo ..."
    Aduh, dia mulai melancarkan rayuan mautnya. Sontak aku menundukkan kepala, agar pandangan kami tak bersatu dan menjaga setan tak berkeliaran di sampingku. Tapi bahasanya yang centil membuatku serasa seorang epilepsi akut. Bergetar-getar tak tentu arah. Aku masih belum memutuskan apakah aku akan menanggapi pertanyaan perempuan itu. Aku menunduk malu. Teringat letupan ajaib istriku di rumah dan anak-anakku yang jarang sekali kutemui. Aku terlalu sibuk. Malam ini jam 10, dan aku belum sampai di rumah.
    "Mas, kok melamun? Ndak usah dipikiran Mas masalah itu. Telornya gimana nih?"
    "Dua telor!" aku asal-asalan menjawab.
    "Dua telor Mas? Saya suka yang dua telor lo Mas kalau melayani pembeli jamu."
    Hah, pikiranku kembali melayang. Apa-apaan nih mbak penjual jamu.
    "Sudah bungkus saja, Mbak."
    "Lo, kok buru-buru Mas?"
    "Istriku nungguin tuh jamu!"
    "Waduh Mas, saya salah nyeduh. Ini jamu Kuat Perkasa!"
    "Wahhh .... "

2 komentar: