BAHAGIANYA IBU
'Sudahlah, Bu. Jangan menangis di telepon. Esok kita akan bercengkerama lagi di rumah kecil kita. Pun, ibu pasti menengok anakmu ini di Tasik. Kita jalan jalan cari nasi tutug oncom!'
Saya menenangkan ibu saya yang sesenggukan namun ia tahan tahan. Keluarga saya sedang makan malam lesehan. Ibu tidak makan karena tidak lapar katanya. Namun saya tahu kalau ibu tak mau makan karena tak ada seorang anaknya di hari wisuda Okta adik saya. Itulah saya yang tak hadir di tengah tengah mereka.
Ibu memang dari dulu pengin saya bekerja dekat rumah. Semarang misalnya yang satu jam sampai rumah. Sejak saya lulus S1 tahun 2004, saya sudah jarang berada di kota kelahiran saya. Lebih dari sepuluh tahun, ibu melihat saya jauh ketinggalan dari sebaya saya yang telah sukses. Inginnya, saya balik rumah saja ketimbang waktu habis di rantauan.
'Sukses masing masing, Bu.' kata saya pada ibu suatu waktu. 'Jangan kita mengukur sukses hanya dari materi.'
Bak gayung bersambut, ibu menyetujui pendapat saya. Ia tak menginginkan saya berlimpah ruah harta namun lupa dirinya. Doanya, saya sehat baik jasmani terutama pikiran. Ibu selalu mewanti wanti agar saya rajin salat agar tak mudah stres. Baik, saya menjawabnya.
Takdir mengatakan lain dan membawa saya terus jauh dari rumah. Ibu mendoakan selalu dari jauh, ucapnya. Dan ketidakhadiran saya sekarang di Jogja, tak jadi penyesalan ibu karena saya punya tantangan baru. Ikut menuntaskan studi si Okta, kini saya memiliki tugas:
Menyarjanakan mahasiswa Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
Level saya patut disadari telah meningkat sehingga butuh energi positif yang besar lagi. Tak cukup kesabaran, keuletan, dan disiplin. Tekad musti bulat karena menjadi dosen tak serta merta materi. Pengabdian. Penghambaan kepada kemanusiaan.
'Ibu percaya padamu, Le!' kata ibu yakin. 'Terima kasih telah membantu adikmu.'
Saya tak kuasa menahan air mata.
Post a Comment