Header Ads

LEGAWA MENERIMA KRITIK


'Sepuluh tahun kau latihan, tak ada perkembangan berarti darimu. Mutu tulisanmu begitu begitu saja. Stagnan!' 

Bagaimana jika kamu dapat kritik seperti itu ketika kamu tengah getol bersemangat menulis? Kalimat itu disampaikan oleh semisal orang terdekatmu yang tahu kamu rajin, disiplin, dan tekun berlatih menulis? 

Saya menerimanya dan geram seolah usaha yang telah saya lakukan sia sia. Alasan saya, sabarlah waktu tepat itu akan tiba. Menulis bukan perkara cepat lambat buku naik cetak, melainkan menemukan diri dan berdamai dengannya, juga siap dan matangnya kita membagi ide. Begitu kilah saya yang langsung sohib saya sosor: 

'Pecundang akan kelebihan satu alasan. Bahkan ia memproduksi cerita cerita drama pendukungnya.'

Gusti Alloh, saya sebetulnya pengin relaks menulis. Terlalu lama saya menekan diri saya sendiri dengan memeras otak mencari cari, mengais ngais ide. Batin saya, sudah waktunya saya mengendurkan urat saraf barang sebentar dan menulis menerapkan metode 'flow', menikmati aliran alias membangun ritme bunyi tulisan. Lagi lagi, sahabat saya tak mau mendengar itu. 

'Semua omong kosong dari mulut busukmu! Mana buktinya? Bukumu sudah terbit? Ini temanku sudah peluncurab buku barunya!'


Ia mengirim foto buku baru temannya di Jogja. Bumbu bombastis ia kirim ke saya yang meledakkan emosi saya. Saya panas dan tak mampu mengontrol amarah. 

'Mentalmu perlu dibenahi. Coba lihat teman Jogjaku. Dia menikmati apapun komentar pembacanya dengan santai. Kau, langsung minggat dari pencelamu!' 

Baik, baik, baik. Saya sudah mampu menguasai diri. Kata kucinya sudah saya pegang yakni kontrol emosi. Gunakan kepala secara adem. Sebagai seniman kata, komentar baik dan buruk ialah apresiasi yang tak akan meledakkan ide ide kita. Pun jika masukan itu cocok dengan apa yang ada di otak dan hati kita, namanya bumbu penyedap yang menggurihkan racikan kata. Apabila komentar tadi kurang sreg di hati, jangan masukkan hati. Anggap saja mereka diam diam mengagumi karya kita. Atau, mencintai diri kita kelak pada waktu mereka sadar akan kecemerlangan kita. 

Tidak boleh gampang marah menyikapi kritik. Terima dengan lapang dada dan lontarkan guyonan untuk menanggapinya. Ingat, energi tidak melulu positif bukan? Negatif kalau kita mampu mengubahnya jadi lebih luar biasa. 

'Kritik jika dibalas dengan serangan membabi buta, justru membuat kita tampak dungu. Biarkan saja, kita tampung. Nah, ketika sudah cukup, kita olah sebagai bahan pembakar semangat menulis kita.' saya mengakhiri perbincangan dan sobat saya mengangguk tanpa senyum.

Tidak ada komentar