Header Ads

BULU TANGKIS di TASIK (1)

Jelang pindahan ke Tasikmalaya secara khaffah, saya menyelidik apa olahraga kegemaran para dosen. Dari data investigasi a la PBI, Pederal Berau Inpestigation, saya mendapat informasi jika dosen dosen paling banyak menyukai badminton. Inilah yang saya garis tebali untuk melancarkan pendekatan. Saya musti ikut bulu tangkis di kampus bersama dosen dan karyawan!

Ingatan saya tertumbuk saat kali pertama Teh Renny memperkenalkan GOR Susi Susanty. Kala itu jelang bulan puasa tahun lalu, minggu pagi yang cerah, lepas mengunjungi pasar tumpah di Dadaha, saya minta Teh Renny mengantar saya ke GOR Susi Susanty. Nama peraih medali emas olimpiade Barcelona 1992 itu masih melekat di hati saya karena saya mengikuti detail masa kejayaan si teteh asli Tasik itu. Masuk GOR, saya memindai kegiatan latihan di situ. Anak anak muda dengan pelatih lelaki yang sudah renta.

Dalam pikiran saya: 'Kapan saya bisa main badminton di Tasik, ya?'

Memang benar jika kenyataan berasal dari impian. Fakta dan fiksi hanya beda tipis. Mimpi itu mewujud sekarang ketika saya diterima sebagai dosen. Ada kesempatan main bulu tangkis, saya tak sia siakan. Kapan lagi saya mencoba kemampuan berbadminton ria di kandang para jagoan Tasik? Iya, sekarang!

***

Saya tak begitu mahir main bulu tangkis. Sempat saya berpikir akan sia sia melawan jawara Tasik. Namun, segera pemikiran sesat itu saya hapus karena bukan medali yang ingin saya rengkuh melainkan kesehatan badan dan ruhani saya. Selain itu yang paling penting ialah sosialisasi saya akan dengan gemilang saya dapat.

'Dekatilah pejabat teras kampusmu lewat olahraga, Dan!' perintah sahabat saya.

Awalnya, saya menganggap itu sebuah ajakan untuk menjilat atasan. Bukan tipe saya untuk melakukan tindakan tak terpuji itu. Otak saya masih dikuasai oleh pemikiran jika saya mampu bergerak sendiri sesuai keyakinan saya. Egosentris membekap diri saya. Namun, saya menimbang ulang jika sosialisasi bukan berarti mempraktikan aji mumpung. Ialah ajang silaturahim yang sahabat saya ingin katakan pada saya.

'Danie. Kau sudah dewasa dan bisa memilih apa yang kau yakini benar.' ucap sahabat saya sambil ia meninggalkan saya.

***

Pindahan ke Tasik segera datang. Sembari bersiul siul, saya mencuci dua pasang sepatu saya yang kelak saya pakai untuk badminton. Warna biru favorit saya ialah sepatu khusus bulu tangkis. Satunya warna putih, orang orang menyebutnya sepatu kelinci, untuk jaga jaga kalau sepatu biru jebol. Saya memastikan dua pasang sepatu itu siap untuk menempa fisik dan mental di lapangan kampus.

Tak lupa raket badminton saya cek. Ban karet pada gagangnya sudah tidak bagus. Saya menggantinya sama dengan warna sebelumnya yaitu merah muda. Bukan kecentilan, namun saya menyesuaikan dengan senar raketnya yang merah. Agak janggal misal memadukannya dengan ban warna ungu. Pink tak masalah, malah musuh yang menertawakannya akan kena smash saya!

'Sepatu sudah, raket siap. Saatnya bawa perlengkapan ini ke Tasik!' seru saya. 'Tasik, saya datang!'

***



Tidak ada komentar