MI BASO TASIK & PERPISAHAN ITU
Tak saya menyangka jika pertemuan saya dan sahabat saya di warung mi baso SR Tasik ialah terakhir. Ia meninggalkan saya usai bertahun tahun merasa kecocokan ada dalam hati kami. Senang kami bersama, susah tak kami lantas cabut membalikkan badan. Sahabat saya telah menghadap ke empunya hidup.
Masih saya ingat, itulah kali pertama pula saya menemuinya di Tasik. Ia sahabat pena saya, yang berubah sahabat ketik, berbicang lewat dunia maya. Apapun tentang diri kami, tak segan kami menceritakan satu sama lain. Kami jadi hapal karakter lewat tulisan.
Takdir mempertemukan kami. Saya dapat kerja di Tasik. Apa yang ada dalam pikiran saya waktu itu? Sahabat saya. Bukan pekerjaan yang jelas menguras pikiran saya. Bagaimana rupa sahabat saya meski berjuta juta kali kami saling bertukar foto lewat surat elektronik. Suaranya seperti apa? Benarkah ia punya lesung pipi sama dengan saya? Semuanya!
Duduklah kami di warung baso dan saya terkejut dengan harganya yang selangit. Untuk ukuran saya, itu tidak lazim. Semangkok minimal berharga dua puluh ribu. Sahabat saya menjelaskan jika harga segitu memang sudah jamak di Tasik. Tak mau menanggung malu, saya memesannya. Juga teruntuk sahabat saya. Dua mangkok.
Pesanan datang, ternyata mi basonya banyak. Pemandangan dalam mangkok menarik perhatian saya. Bagus dan cantik. Saya menambahi saus dan kecap, sambal sedikit saja karena takut sakit perut. Saat saya mengaduknya, sahabat saya menuangkan sambal yang begitu banyak. Mata saya melotot dan komplain padanya. Ia tersenyum.
Enak, lezat, dan bikin gembira. Tiga kata itulah tepat buat mi baso Tasik. Saya menyukainya meski belum menerima harganya. Kami berdua berbincang seru, sampai saya merasa kota Tasik akan memuaskan diri saya. Saya kerasan.
Namun, tiga hari sesudah pertemuan perdana sembati makan mi baso, sahabat saya meninggal. Saya lunglai, tak mampu berkata apa apa. Sahabat saya pergi .... Sakit hati ini!
Post a Comment