ANGKRINGAN GARENG PETRUK
Makan di angkringan dalam hitungan saya malah boros. Bagaimana tidak, kita saking bersemangat ambil nasi kucing, gorengan, krupuk, pesan minuman, tanpa sadar nilai rupiahnya besar. Pun, semua itu tidak mengenyangkan. Angkringan ialah pilihan terakhir makan hemat saya.
Sudah bertahun tahun saya menghindari angkringan. Hanya sesekali saya membeli wedang jahe kalau sedang pengin banget. Namun, saat mengunjungi Jogja, lewat Jalan Margo Utomo atau dulunya Jalan Pangeran Mangkubumi, saya mampir di Angkringan Gareng Petruk yang auranya mengundang undang.
Waktu itu selepas Magrib ketika Angkringan Gareng Petruk mulai menyedot para mahasiswa dan turis untuk makan lesehan di depan kantor harian Kedaulatan Rakyat. Tiga pengamen mengiringi ritual menyantap kuliner ndeso namun bagi saya malah berkesan elit karena mahalnya itu.
Saya memarkir motor dan lebur bersama suasana di angkringan yang pelayannya memakai seragam Jawa berwarna merah moncer. Ambil ini dan itu, saya maju ke meja teller. Si mbak menghitung menu pilihan saya dan menyebur angka rupiahnya. Benar kan mahal! Padahal cuma seiprit. Dan saya rada jengkel karena si mbak itu memberi kembalian dengan uang receh seratusan. Kurang ajar!
Makan sudah tak jinak, saya lebih menikmati wedang jahenya saja. Makanannya tidak begitu enak. Secara total, angkringan Gareng Petruk hanya unggul pada tempat jualan. Sekian.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus