GURU PAHLAWAN BERJUTA TANDA JASA
Panasnya berita kenaikan BBM yang menyulut pro dan kontra tak berkesudahan membuat saya linglung. Sebagai hiburan, saya kemarin Minggu mengunjungi guru favorit saya. Pak Asep namanya. Sudah sejak lama ia pulang kampung di Priyangan setelah pensiun mengabdi di Tanah Jawa selama tiga puluh tahun lebih.
Pak Asep kini sudah tua, giginya copot semua entah faktor uzur atau pernah masa mengajarnya kena bogem muridnya hingga geliginya rontok tak tumbuh lagi tidak jelas. Ia bersama istri mudanya yang cantik sekali binti kenes setelah istri tersayangnya meninggal karena jantungan.
Rumah Pak Asep biasa, tidak beton tetapi kayu yang katanya sudah istana megahnya. Suguhan saat saya mengunjunginya hanya singkong rebus yang Pak Asep bilang itu makanan yang akan mengantarkan kita ke surga selain bebas dari kolesterol yang membengkakkan tubuh. Ada yang aneh di rumahnya, Pak Asep tak memasang foto presiden dan wakil presiden. Saya menanyainya sebagai obrolan pembuka setelah menanyakan kabar dirinya.
'Saya kecewa sama semua presiden, Mas Danie!' ia berucap dengan bibirnya bergetar, wajahnya memerah menahan kemarahannya agar tak meledak di hadapan saya.
'Ada apa, Pak Asep?' Saya bergeser duduk mendekatinya.
'Pahit semua. Sakit hati kalau saya rasakan. Tapi, kita harus kuat!'
'Oya, Pak Asep. Dua hari lagi Hari Guru. Selamat dan terima kasih ya, Pak Asep.'
Saya meliukkan pikirannya yang penuh amarah agar ia lebih relaks menjelaskan kenapa sampai selama lebih dari tiga dasawarsa marah sama presiden. Saya harus tahu karena saya tahu Pak Asep guru yang rajin, tekun, dan loyal. Semua muridnya merasakan hal yang sama.
Pak Asep memberi pengertian pada saya jika bukan masalah gaji yang ia permasalahkan. Gaji, bersama almarhum istrinya, mereka pas paskan. Katanya, tak ada yang puas di dunia ini. Orang kaya selalu pengin lebih kaya. Pejabat akan ingin lebih moncer pangkatnya. Pak Asep bukan seperti itu. Bertahun tahun, BBM naik atau tidak, tak pernah ia ambil pusing. Banyak jalan menyikapinya entah dengan cara apa saja yabg penting tidak tekor dapurnya. Ia mengajari seluruh anak didiknya hidup prihatin, ikhlas, dan tidak banyak menuntut karena rezeki milik Alloh semata.
'Mau dengar ganjalan di hati saya, Mas Danie?' tanya Pak Asep sambil memeriksa hape buluknya.
'Maaf, ada SMS dari nyonyah saya. Biasa, hiburan masa senja saya ya cuma dia. Cantik loh, Mas! Lagi shopping di pasar beli codot goreng kesukaan saya.'
'Saya menyimak, Pak.' jawab saya.
Ternyata ini masalah mendasar yang semua dari kita harus tahu. Pak Asep menjabarkannya dengan sangat fasih, percaya diri, tidak seperti sebelumnya yang lembek dan penuh kedongkolan. Ia berubah sosok yang berapi api dan bersemangat.
"Guru, Pahlawan Tanpa tanda Jasa"
Menurut Pak Asep, gelar itu membutakan umat Indonesia. Bagaimana bisa guru yang mencetak kader bangsa, mati matian memoles karakter anak anak didiknya, hanya dikasih gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?
'Kedok ketidakadilan yang santun,' jelas Pak Asep. 'Saya tak secuilpun di hati saya berharap dikasih gelar. Tapi coba kita lihat kondisi dunia pendidikan kita. Bobrok! Guru honorer dibiarkan keleleran. Gaji sebulan cuma cukup buat beli tempe kasarnya. Itu bukan honorer tapi HORORER!'
Benar juga, bisik saya dalam hati.
'Kalau kita menghargai guru dengan sepantasnya, tidak usalhlah muluk muluk pengin sejuta tanda jasa, kasih penghidupan yang bagus, tentu guru akan lebih hebat membangun murid muridnya. Bergaji tiga ratus saja sudah bisa bikin murid kaya kamu hebat kok, Mas Danie! Apalagi lebih dari itu!'
Hati saya malu. Saya belum seberapa ketimbang Pak Asep. Namun saya melemparkan senyum sebagai penghargaan padanya. Kalau saya pikir pikir, juga saya membayangkan, jujur memang benar kata Pak Asep. Guru guru saat mengajar pasti konsentradinya terbelah dengan bagaimana mencukupi kehidupan keluarga mereka. Belum lagi ancaman kalau sekolahnya mau ambruk dan menghantam kepala diri mereka dan siswa siswanya. Wah, PR banget ini!
'Begitulah yang ada di benak saya, Mas Danie. Senang Mas Danie ke sini.' ucap Pak Asep menenangkan.
'Sama sama, Pak.' kata saya sambil mengelus punggung tangannya.
'Ayo kita ke pekarangan, Mas! Ada buah kersen banyak. Kita panen. Mas Danie di bawah, saya yang panjat. Ayo!'
Hah .... Apa nggak salah tawaran Pak Asep? Bukankah saya yang mustinya naik? Pak Asep memang hebat sedari dulu!
Post a Comment