Header Ads

SUPIT MENJERIT


Kelas satu SMP saya khitan. Itu terlalu tua untuk memutuskan sunat karena anak anak kecil zaman sekarang sudah berani. Alasannya sudah gampang ditebak karena takut titit kena potong "kres", darah muncrat dan berceceran ke mana mana, lalu saya mati. Bahkan, satu teman saya bernama Udin berkata kalau salah salah Pak Mantri Sunat potong titit berarti kita berubah jadi perempuan nggak punya penis. Mati aku?!

'Jangan sekarang dong, Yah!' bujuk saya pada ayah suatu waktu di sore yang hangat di teras rumah sambil menunggu bakso lewat. 'Kalau Danie sudah SMA saja!'

Ayah mengulum senyum. Kopi kental di meja ia angkat dan bibir hitamnya menempel di gelas lalu seruputan terdengar keras. Ayah memang penggemar berat kopi. Namun saya bersyukur kalau ayah tidak melengkapi kegemaran mengopinya dengan merokok. Ia bilang, merokok itu tindakan orang bodoh yang egois karena kebanyakan menyemburkan asap nikotinnya ke orang tak membutuhkannya.

'Danie,' ayah meletakkan gelasnya. Saya memandang ayah dengan memelas, memohon biar niat ayah menangguhkan khitan saya. 'Ini liburan sekolah. Kapan lagi!'

Itu kali saya tak bisa melobi ayah. Dan itu berarti: burung saya dipotong "kres kres", saya kehabisan darah, dan mati.

'Besok ayah antar ke pak mantri Purwodadi!' kata ayah bangkit meninggalkan saya dalam kegusaran tingkat Puncak Himalaya.

★★★

Hari H itu tiba. Seisi rumah sibuk mempersiapkan selamatan; potong ayam sepuluh dan bikin jajan pasar yang melimpah. Awalnya, ibu meminta ayah agar dibuat Upacara Pengantin Supit. Di situ saya akan diarak keliling kampung, naik kuda, saya berkacamata dalam jubah kebesaran, lalu sampai rumah disuruh baca Qur'an. Semua mata orang kampung tertuju pada saya dengan sumbangan yang luar biasa. Padahal mereka tidak tahu betapa saya takut seengah hidup. Beruntung ayah bijak tahu anaknya tak menyukai kegegap gempitaan seperti itu.

'Ayo berangkat!' seru ayah.

Saya memakai sarung, berbaju koko, dan pakai peci. Naik motor butut ayah rasanya berat sekali dengan beribu bayangan kengerian menggelayuti pikiran saya; kalau guntingnya berkarat bagaimana, kalau biusnya tetiba nggak berfungsi pas prosesi bagaimana, kalau bukan pak mantri malah bu mantri bagaimana. Saya setres berat!

Ibu mendada dada di depan rumah. Ia saya lihat tampak bangga anak sulungnya akan segera memasuki masa dewasanya. Tapi saya melempar wajah kecut pada ibu. Biar saja sumbangan nani ibu embat! Saya tidak peduli dengan iming iming ibu belikan saya remote control lah, tas sekolah lah, sepatu bagus lah. Semua omong kosong!

Motor butut ayah meluncur ke pak mantri. Saya memeluk kuat ayah khawatir ini pertemuan terakhir saya dengan ayah. Saya tak mau meninggalkan ayah.

★★★

Tidak ada komentar