PANITIA ACARA yang AROGAN
Ratih
sohib saya seorang ibu bersuami satu beranak lima menelepon saya sehari
setelah Kelud membagi cintanya ke seluruh Jawa. Bukan abu vulkanik yang
membuat Ratih kaya orang linglung, melainkan acara amalnya batal demi alasan kondisi Jogja yang tengah lumpuh.
Sangat jarang saya mendapati Ratih seperti ini. Dalam teleponnya, ia yang biasanya teratur berbicara,intonasi yang bagus, irama yang keluar dari mulutnya sampai ke gagang telepon saya enak didengar, waktu itu fals bercampur desah tak perlu. Ratih yang saya kenal mampu bermulti tasking; melakukan banyak hal dalam satu waktu secara seimbang~menyusui tiga bayinya bersamaan disambi mengetik status FB juga memasak ayam kalkun, malam jam sepuluh itu benar benar kacau.
'Danie, tolong ....' Ratih memohon mohon pada saya. 'Aku sumpah takut, Danie .... tolong ....'
'Ada apa, Mas?' tanya saya. Saya memanggil Ratih "mas" bukan berarti saya melecehkan organ genitalnya. Nama panjangnya, Masayu Ratih Anggraeni.
'Kayanya ini hukuman Tuhan buatku deh?!'
Gagang telepon terasa bergetar. Kekalutan hati Ratih beresonansi sampai Jogja lewat jaringan optik telepon. Ia meluncurkan gletser katanya menerangkan jika kegagalan acara amalnya akibat dirinya.
'Kok bisa?' tanya saya.
Ratih menjawab, 'Aku ceritakan lengkap ya, Danie! Kau boleh bikin kopi dulu, ya .... Kututup telepon sebentar, ya!'
'Mau kemana?'
'Suamiku minta susu! Eh, anak anakku! Tunggu ya!'
Tut .... Telepon ditutup. Anehnya, saya menuruti Ratih membikin kopi yang sebetulnya saya anti kopi karena saya menganggap minuman itu memabukkan. Satu sendok kopi sudah membuat saya mabuk. Bagaimana kalau narkoba ya?
***
Setengah jam saya menunggu Ratih kembali lagi menelepon saya. Penasaran saya akui. Namun saya menantinya tidak dengan melakukan hal sia sia seperti main game Flappy Bird yang kabarnya bikin kesal orang sejagad. Tidak pula saya iseng memencet tombol polisi 110, pemadam kebakaran, atau nge-retweet pantun Tifatul Sembiring. Saya membaca buku bermutu punya Cak Nun. Judulnya, "Markesot Bertutur"! Bukan buat gaya gayaan, tapi asli saya maniak buku dari para penulis hebat. Tidak cuma Cak Nun, Cak Lontong, Cak Hari penjual sate Madura juga saya nikmati karya mereka.
Titit tuwit .... Titit tuwit ....
Hape saya menyalak. Ringtone-nya sengaja saya tidak memasang lagu tren masa kini atau lalu karena itu mainstream. Kata sohib saya si Bahlul, mainstream akan masuk neraka. Ya saya bikin yang khas saya dong.
'Danie, halo? Masih di situ?' tanya Ratih kali ini bicaranya sudah kaya sosok yang saya kenal.
'Siap!' jawab saya.
'Suamiku sudah ngorok kayanya susu sapinya bikin dia enak bobo. Anak anakku masih berantem berebut guling di kamar, tapi kubiarkan karena mereka sedang berproses saling mengenal walau sudah larut nggak apa apa. Aku ceritakan ya, Dan?'
Lima hari sebelum Kelud meletus, Ratih menghubungi Persekutuan Vampir Jaya. Perkumpulan ini beranggotakan para vampir Nusantara yang punya keahlian yang sering dipertontonkan di khalayak yang mendapat sambutan luar biasa. Sebulan lalu, PVJ, begitu biasa disingkat, membuat tampilan yang mengolaborasikan jaipong, terjun payung, dan panjat pinang. Acaranya bikin jantung seakan copot ke lantai saking mantapnya.
'Kan mereka artis, Dan.' Ratih bercerita. 'Kubilang sama manajernya, kalian harus hadir di acara amal kami ya. Ada donor darah nanti. Nah, nanti kita bagi hasil. Lima persen darahnya bisa kalian ambil.'
'Acaranya kapan?' tanya si manajer PVJ.
'Malam Sabtu. Ramai lo .... Kalian akan semakin terkenal!'
'Mendadak sekali?'
Ratih terus merangsek dengan membuat obrolan yang dibumbui nuansa perdustaan. Ia terus merengek agar PVJ tampil. Titik.
'Anda tidak memikirkan kalau kami para vampir punya agenda sendiri, Bu?' Si manajer PVJ berucap. 'Pernahkah Anda berpikir kalau seminggu tiga kali kami ada jadwal rutin: berlatih teknik menyedot darah di leher dan ubun ubun, mempelajari cara mengawetkan darah agar tidak anyir dan tetap segar tanpa lemari es, dan segudang kesibukan lain?'
'Tapi kami berharap PVJ ikut!' Ratih memelas.
'Bukan masalah itu, Bu. Adab. Unggah ungguh. Kita sama sama komunitas. Ada aturan tak tertulis yaitu kesopanan berinteraksi!'
Ratih berkata pada saya, 'Mangkel aku waktu itu. Nggondok aku bilang kalau mereka sok sokan. Tapi, aku baru sadar pas banyak abu sekarang. Kayanya aku salah!'
'Memang salah, Mas!' Saya langsung menembak Ratih. 'Sikapmu arogan. Untung kau menyadarinya. Kalau kau piara? Jadi penyakit! Mentalmu rusak ....'
'Dan parahnya, aku nggak balas ucapan sekadar terima kasih meluangkan waktu mendengar cerewetanku!'
'Minta maaflah ke mereka!'
'Nanti kalau abu sudah hilang!'
'Abu hal yang berbeda. Juga ingatlah, Tuhan tak punya sifat merusak rusak seperti kau bilang sedang menghukummu dengan abu. Kesopanan dan Keberkahan Tuhan atas abu sudah dua topik berbeda. Sekarang waktunya minta maaf secara betina ke para vampir.'
Dan Ratih menurut ....
Mari merapat di www.rumahdanie.blogspot.com
Sangat jarang saya mendapati Ratih seperti ini. Dalam teleponnya, ia yang biasanya teratur berbicara,intonasi yang bagus, irama yang keluar dari mulutnya sampai ke gagang telepon saya enak didengar, waktu itu fals bercampur desah tak perlu. Ratih yang saya kenal mampu bermulti tasking; melakukan banyak hal dalam satu waktu secara seimbang~menyusui tiga bayinya bersamaan disambi mengetik status FB juga memasak ayam kalkun, malam jam sepuluh itu benar benar kacau.
'Danie, tolong ....' Ratih memohon mohon pada saya. 'Aku sumpah takut, Danie .... tolong ....'
'Ada apa, Mas?' tanya saya. Saya memanggil Ratih "mas" bukan berarti saya melecehkan organ genitalnya. Nama panjangnya, Masayu Ratih Anggraeni.
'Kayanya ini hukuman Tuhan buatku deh?!'
Gagang telepon terasa bergetar. Kekalutan hati Ratih beresonansi sampai Jogja lewat jaringan optik telepon. Ia meluncurkan gletser katanya menerangkan jika kegagalan acara amalnya akibat dirinya.
'Kok bisa?' tanya saya.
Ratih menjawab, 'Aku ceritakan lengkap ya, Danie! Kau boleh bikin kopi dulu, ya .... Kututup telepon sebentar, ya!'
'Mau kemana?'
'Suamiku minta susu! Eh, anak anakku! Tunggu ya!'
Tut .... Telepon ditutup. Anehnya, saya menuruti Ratih membikin kopi yang sebetulnya saya anti kopi karena saya menganggap minuman itu memabukkan. Satu sendok kopi sudah membuat saya mabuk. Bagaimana kalau narkoba ya?
***
Setengah jam saya menunggu Ratih kembali lagi menelepon saya. Penasaran saya akui. Namun saya menantinya tidak dengan melakukan hal sia sia seperti main game Flappy Bird yang kabarnya bikin kesal orang sejagad. Tidak pula saya iseng memencet tombol polisi 110, pemadam kebakaran, atau nge-retweet pantun Tifatul Sembiring. Saya membaca buku bermutu punya Cak Nun. Judulnya, "Markesot Bertutur"! Bukan buat gaya gayaan, tapi asli saya maniak buku dari para penulis hebat. Tidak cuma Cak Nun, Cak Lontong, Cak Hari penjual sate Madura juga saya nikmati karya mereka.
Titit tuwit .... Titit tuwit ....
Hape saya menyalak. Ringtone-nya sengaja saya tidak memasang lagu tren masa kini atau lalu karena itu mainstream. Kata sohib saya si Bahlul, mainstream akan masuk neraka. Ya saya bikin yang khas saya dong.
'Danie, halo? Masih di situ?' tanya Ratih kali ini bicaranya sudah kaya sosok yang saya kenal.
'Siap!' jawab saya.
'Suamiku sudah ngorok kayanya susu sapinya bikin dia enak bobo. Anak anakku masih berantem berebut guling di kamar, tapi kubiarkan karena mereka sedang berproses saling mengenal walau sudah larut nggak apa apa. Aku ceritakan ya, Dan?'
Lima hari sebelum Kelud meletus, Ratih menghubungi Persekutuan Vampir Jaya. Perkumpulan ini beranggotakan para vampir Nusantara yang punya keahlian yang sering dipertontonkan di khalayak yang mendapat sambutan luar biasa. Sebulan lalu, PVJ, begitu biasa disingkat, membuat tampilan yang mengolaborasikan jaipong, terjun payung, dan panjat pinang. Acaranya bikin jantung seakan copot ke lantai saking mantapnya.
'Kan mereka artis, Dan.' Ratih bercerita. 'Kubilang sama manajernya, kalian harus hadir di acara amal kami ya. Ada donor darah nanti. Nah, nanti kita bagi hasil. Lima persen darahnya bisa kalian ambil.'
'Acaranya kapan?' tanya si manajer PVJ.
'Malam Sabtu. Ramai lo .... Kalian akan semakin terkenal!'
'Mendadak sekali?'
Ratih terus merangsek dengan membuat obrolan yang dibumbui nuansa perdustaan. Ia terus merengek agar PVJ tampil. Titik.
'Anda tidak memikirkan kalau kami para vampir punya agenda sendiri, Bu?' Si manajer PVJ berucap. 'Pernahkah Anda berpikir kalau seminggu tiga kali kami ada jadwal rutin: berlatih teknik menyedot darah di leher dan ubun ubun, mempelajari cara mengawetkan darah agar tidak anyir dan tetap segar tanpa lemari es, dan segudang kesibukan lain?'
'Tapi kami berharap PVJ ikut!' Ratih memelas.
'Bukan masalah itu, Bu. Adab. Unggah ungguh. Kita sama sama komunitas. Ada aturan tak tertulis yaitu kesopanan berinteraksi!'
Ratih berkata pada saya, 'Mangkel aku waktu itu. Nggondok aku bilang kalau mereka sok sokan. Tapi, aku baru sadar pas banyak abu sekarang. Kayanya aku salah!'
'Memang salah, Mas!' Saya langsung menembak Ratih. 'Sikapmu arogan. Untung kau menyadarinya. Kalau kau piara? Jadi penyakit! Mentalmu rusak ....'
'Dan parahnya, aku nggak balas ucapan sekadar terima kasih meluangkan waktu mendengar cerewetanku!'
'Minta maaflah ke mereka!'
'Nanti kalau abu sudah hilang!'
'Abu hal yang berbeda. Juga ingatlah, Tuhan tak punya sifat merusak rusak seperti kau bilang sedang menghukummu dengan abu. Kesopanan dan Keberkahan Tuhan atas abu sudah dua topik berbeda. Sekarang waktunya minta maaf secara betina ke para vampir.'
Dan Ratih menurut ....
Mari merapat di www.rumahdanie.blogspot.com
Post a Comment