Buka Bersama sang Musuh Bebuyutan
Berbuka bersama sang musuh. Yang pernah menginjak harkat diri, mempermalukan diri saya di depan umum. Dan sekarang saya melayani tantangan dia. Tentu, tanpa berniat melempar pisau berdarah ke wajah dia. Tak perlu, itu hanya menunjukkan tingkat kedewasaan saya yang merosot menuju lembah penghinaan.
Di bulan Ramadhan. Puasa yang gerah, mentari mulai menyesuaikan waktu baru, Makkah Main Time. Pasti Tuhan lebih memihak Kerajaan Arab Saudi. Ah, itu pikiran konyol saja. Dan bulan puasa merupakan berkah bagi mereka yang memiliki sifat sifat bertolak belakang. Yang buruk, baik, pendendam, dan suka mengumpat, ataupun menelurkan keluhan bak mantra pelemah semangat berkapasitas monster. Besar dan menggelundung dari atas Pegunungan Bersalju. Selanjutnya, menggilas para pemain ski, menuju bawah untuk disoraki oleh para penjaga keselamatan gunung.
'Datang ya di acara buka bersama kita.' SMS masuk ke nomor saya. Dari ia yang namanya sudah saya remove dari memori hape. Dari pikiran saya juga.
Saya berusaha mengendalikan diri. Tidak langsung meletuskan amarah. Menahan emosi agaknya penting dilakukan sejalan dengan umur yang makin melesat.
Berpikir dalam, karena ini berkaitan dengan strategi pelumpuhan antar pemikiran, saya memainkan otak. Tik tak, menganalisis permalahan, mencari solusi jika A dijalankan B diterapkan C ditawarkan. Apakah saya kalah, menang, atau bagaimana.
Saya biarkan terlebih dahulu. SMS biar tanpa jawaban. Hape terlempar ke ranjang.
Di luar rumah langit mendung. Hujan akan datang. Dan ini alasan paling realistis untuk menolak ajakan musuh saya. 'Maaf, Mas. Hujan di sini.' Jawaban yang akan saya layangkan. Tidak mengandung bohong, tidak membatalkan puasa, yang tinggal beberapa jam lagi.
Saya melihat muda mudi berseliweran naik sepeda motor. Suara cekikan meluncur dari mulut mereka, seperti memekikkan takbir kepada sang Pemberi Hidup, Tuhan Yang Maha Memaafkan. Seorang ibu sibuk mondar mandir di luar gerbang rumahnya. Lupa dan ingat bumbu apa yang akan ia beli di warung sebelah rumah. Anak anak kecil bermain, dalam pengawasan para ibunda, meletuskan mercon sembari menyalak tertawa keras.
'Ma, pecah!' teriak seorang anak. Mercon membuat suasana Ramadan makin marak. Pipi sang Ibu tampak memerah, bangga anaknya semakin mahir, aktif, dan kreatif.
Jika tak Ramadan, saya pasti meraih kotak andalan saya, mengeluarkan rokok, sembari menyuruh Inem Pembantu Rumah segera mengirim kopi hitam pahit. Saya beranggapan dengan merokok dan minum kopi, ide ide akan bergentayangan di depan saya. Dan saya menangkapnya. Segera kasus kasus yang saya hadapi teruraikan. Selesai.
Akan tetapi ini saya harus berhadapan dengan MUSUH SAYA.
Apakah ia akan menjebak saya?
Saya akankah menggorok ia di hadapan teman teman? Dan ini berarti saya harus mempersiapkan kata kata paling tepat untuk membunuh karakternya.
Atau, ini adalah waktu yang tepat untuk menjernihkan suasana dan saya akan membuka lembaran baru berteman, tidak lagi bermusuhan.
Semua berkecamuk. Tak jelas apa yang harus saya kedepankan dalam hal ini.
'Musuh adalah Sahabat paling kental di masa tak terketahui. Sahabat kental bisa jadi menusukmu menjadi musuh paling hebat dalam hidupmu.' pesan teman saya di ujung negeri.
'Bukalah dirimu, Dan. Perbaiki hubungan dengan orang orang yang tak sesuai dengan pikiranmu. Rezeki akan mengalir deras.' ucap teman yang lain.
Oh, saya harus menyimpan semua pernyataan dan pertanyaan semua itu. Masih menjadi masalah yang menggantung. Tantangan yang harus dipecahkan.
Ini seperti tipikal saya banget Mas...
BalasHapusCerita2 anda menggambarkan secara detail juga apa yang jadi pikiran saya dan apa yang akan saya lakukan.. Anda memang berbakat jadi penerus Mama Loreng...
Saya menerima daulat dan selempang 'The next Mama Laurentz' darimu wahai Adi.
BalasHapusSaya akan berjuang mengasah kepekaan dan daya terawang. Shngga kelak tiap awal tahun segera tampil di TV. Yahoo!
BalasHapusSaya merekomendasikan Anda selekasnya ikut Take Me Out. Daulat, Gusti.
Ra urus. Take me out. Take dangdut. Teh celup.
BalasHapus