DEAF CAPOEIRA TROOP: Pasukan Capoeira Tuna Rungu Jogja
Batin saya berkata: 'Membagi ilmu capoeira untuk teman yang bisa mendengar sudah biasa. Tantanganmu menjadikan sobat tulimu mampu bercapoeira!'
Beberapa kali kelas capoeira dan DAC, Deaf Art Community, saling mengundang acara dan saya sebut itu penjajakan hubungan. Sama kaya orang pacaran, kami membuka komunikasi. Ketika DAC punya acara buka bersama, capoeiristista menghibur mempertontonkan aksi kami. Waktu workshop September lalu, serombongan sobat DAC hadir meramaikan lebur dalam kemeriahan khas capoeira. Kami bersinergi perlahan hingga Sabtu, 9 Oktober 2013 mimpi kami berwujud; punya rintisan kelas capoeira di Sekolah Semangat Tuli Jogja.
Saya berpikir keras bagaimana cara membagi ilmu capoeira buat sobat DAC. Tidak pernah saya sangsikan jika kemampuan seni anak anak tuli itu luar bisa. Saya pernah menyaksikan penampilan panggung mereka yang kompak dan rapih. Capoeira pasti bisa mereka babat asal saya sebagai penghubung mereka dengan anggota kelas Senzala cermat mengatur. Kendala saya justru memantik nyala semangat berbagi teman teman capoeirista.
Tidak saya berniat membuka aib teman teman saya, namun pikiran saya ini saya tulis untuk kebaikan kita di masa mendatang. Di tengah kesibukan teman teman capoeirista yang notabene mendengar, sangatlah sulit mengajak mereka sekadar berkunjung ke DAC. Saya sangat makfum mereka sibuk dan tak bisa diganggu.
'Ayo siapa yang mau ikut saya ke DAC! Kita main main sederhana di sana!' bujuk saya tanpa menjelaskan jika hari itu perdana kelas capoeira DAC dimulai.
Pancingan saya hanya dianggap tulisan tanpa arti. Saya berpikir apakah salah startegi saya merangkai kata. Kembali saya tenangkan diri jika merintis kelas tanpa bayaran dan membayangkan melatih para tuna rungu sudah sulit tidak menarik untuk dilakukan.
'Justru itulah tantangan yang saya cari!' seru saya dalam hati.
Beruntung Yudha menyambut tawaran saya untuk menyapa sobat DAC. Ia mengatakan jika pengin tahu dan belajar membagi ilmu capoeira. Pun kami berkumpul di rumah saya karena Yudha tak tahu di mana letak DAC.
Sebelumnya saya sudah berkomunikasi dengan empunya DAC Babe Broto juga Kiki sebagai volunteer. Saya dan Yudha meluncur pukul tiga sore karena tepat jam empat mulainy latihan capoeira.
***
Apa bekal yang saya bawa untuk melatih capoeira bagi para tuna rungu? Air minum pasti karena berlatih capoeira sangat menguras tenaga berbuah keringat yang deras. Seragam putih bersih dan sepatu jelas karena seoran pimpinan latihan musti berbusana rapih dan bertampang bersih ceria.
'Yud, kamu bawa sepatu?' tanya saya.
Yudha berkata jika ia tidak bawa namun sudah titip beli sepatu pada Bram. Saya pengin berkata atau menasihati katakanlah jika bisa beli dengan usaha sendiri kenapa titip orang lain. Namun saya menahannya.
'Ya sudah nanti habis latihan aku antar!' seru saya dan Yudha menyetujui.
Bekal spesial yang saya bawa adalah:
Lembaran kertas yang saya tulis nama gerakan capoeira dengan bahasa Portugis berhuruf besar dan cara pengucapannya di bawahnya.
Misal,
GINGA
(Jing - ga)
MEIA LUA
(Meya - Luwa)
Dalam ide saya, ini akan memudahkan karena saya sebagai pelatih akan kesulitan jika memberi aba aba lewat kata. Nanti lembar demi lembar kita tunjukkan ke sobat DAC dan kita beri contoh gerakan.
***
Sampai di Rumah DAC, sobat tuli sudah siap sedia. Sangat kontras dengan kelas berisi manusia bisa mendengar. Anak anak DAC sejak awal saya mengenalnya menghargai waktu. Geliat mereka menunjukkan antusiasme yang tinggi untuk belajar hal hal baru. Babe Broto ada di situ dan memberi wejangan agar saya dan Yudha mengajari gerakan simpel terlebih dahulu.
Menariknya, Sabtu itu ada dua wartawan Jawa Pos Surabaya yang meliput keberadaan DAC. Kembali capoeirista diikutkan alias nebeng tenar. Tapi bukan itu target kami. Lebih dari itu, kami ingin membentuk Deaf Capoeira Troop.
Jam empat Yudha memimpin pemanasan. Ada lima anak DAC yang terjun secara hari perdana kelas jadi anak anak DAC yang lain masih menyesuaikan waktu mereka.
Selama hampir satu jam kami berinteraksi lewat pengenalan gerakan dasar, jogo, dan roda sederhana. Tak lupa saya menginstruksikan Arif, Diki, Ahmad, Rizki, dan Zaka, tersenyum karena capoeira permainan yang menyenangkan disamping beladiri yang indah.
Satu yang saya kagumi dari sobat DAC: daya tangkap mereka yang luar biasa. Mereka peka dan cepat menelaah untuk melakukan gerakan bersama sama. Saya yakin mereka akan jadi tim yang 'mengerikan'. Disiplin punya, respek terhadap pelatih, dan cepat daya analitiknya.
***
Usai berlatih, saya menyempatkan diri bergabung dengan sobat DAC lain yang berdatangan. Mereka sibuk menonton film India, judulnya saya lupa, menceritakan perjuangan seorang tuli dan autis. Di sela sela keseriusan mereka, saya mengajak mereka agar Sabtu bergabung berlatih capoeira.
Terima kasih Sobat DAC! Semoga kita semakin kompak membentuk Tim Capoeira "Semangat Tuli" Jogja. Amin.
Post a Comment