Emosi saya meledak siang hari ini. Helm saya raib di masjid waktu saya
shalat Zuhur. Rasanya, panas banget ini badan. Pengin saya pukul tembok
masjid, takut kualat. Mau minum air kran wudu, kok ya mentah. Pun saya
duduk bersimpuh di atas jok motor saya.
'Bang ... Thitil!'
Sejatinya saya mau bilang BANGSAT. Bukan Bang Thithil alias Bank Kredit
Jalanan. Tapi ini kan Ramadan, jadi niat itu saya urungkan untuk nanti
setelah Lebaran diucapkan dengan tanpa teding aling aing. Sudah
kebiasaan saya mengumpat baik sengaja ataupun tidak.
Saya
amati seorang bapak tua yang berjalan tertatih dalam pakaian putihnya
yang menjuntai nyaris menempel di lantai. Ia berjanggut panjang,
bersurban mengilat, yang menandakan ia sangat agamis. Dia imam masjid.
Saya cuekin!
Semustinya, saya menguluk salam padanya,
menyambanginya, mencium punggung tangannya. Tidak seperti ini. Dulu,
waktu saya kecil, saya rajin ke masjid. Mengaji. Sama kyai saya, saya
sangat patuh. Ia bagaikan dewa yang petuahnya patut dilaksanakan.
Sekarang, aduh .... karena pengaruh teknologi yang sudah mengikat jiwa
saya, terhipnotis oleh TV, internet, atau hiburan instan nan cepat lain,
saya jadi berubah drastis watak saya.
'Eh, Nak Danie!' sapa sang imam.
Saya membuang muka. Tak peduli ada imam di dekat saya. Amarah saya
sedang memuncak. Pun sang imam meninggalkan saya dengan mengucap:
'Assalamualaikum, Nak Danie!'
'Salam?!' saya menjawab membentak.
***
Ini mungkin karma buat saya. Helm saya yang hilang bukan punya saya.
Itu saya miliki waktu konser musik dangdut, di malam satu Suro di sudut
Kota Jogja, helm saya yang jelek tertukar. Saya tanya tanya penjaga
parkir dia nggak tahu.
Katanya, 'Biasa, Mas. Helm ketukar tukar!'
Saya sih asyik asyik saja. La wong helm jadi bagus. Mengilat, berkaca,
dan tampak mahal. Saya mengegas motor dengan loncatan batin yang bersuka
ria. Padahal si empunya helm yang saya kenakan di rumah menggerutu
habis.
Dan di sini, masjid tempat Allah, saya seolah mendapat
teguran keras. Rezeki helm saya cukup sampai hari ini. Naluri saya
menengahi. Tapi tetap saja saya melepas amarah.
'Pencuri edan!
Di masjid loh?!' semprot saya. 'Dia kayanya lupa semboyan "Surga berada
di telapak kaki ibu". Karena mencuri sandal sudah tidak berprospek,
sekarang dia mengubah surga jadi ada di kepala ibu. Nyolong helm?!'
***
Pun saya mengecek dompet. Ada dua ratus ribu. Saya mengingat ngingat
teman saya beli helm harganya seratus lima puluh. Sisa lima puluh ribu.
Cukup lah di tanggal 31 satu ini! Besok gajian.
Saya memaksa
diri untuk bangkit. Menuju tempat jual helm? Tidak! Saya coba dulu cari
pinjaman helm kantor. Kayanya ada helm bagus yang nganggur. Pura pura
pinjam, tapi melupa untuk mengembalikannya.
Post a Comment