EKSPERIMEN CANGGIH BI INAH
'Mas Danie, bagaimana kabar? Sehat kan?' telepon Bi Inah, pembantu rumah masa kecil saya.
Saya menjawab sedang pilek. Mampet hidung saya karena sering ngelayap malam, sedikit mabuk oleh orange squash, dan rambut gatal gatal akibat tiga hari tidak sampoan. Bi Inah pun meluncurkan petuahnya sama kaya saya waktu kecil.
'Ah, Mas Danie bandel! Dari dulu nggak disiplin!' marahnya.
Bi Inah kini sudah di Semarang. Ia bersama suami dan dua anaknya punya bisnis yang telah melebar sayap kekuasaannya. Usaha kemoceng ajaib. Benar, ia merancang sebuah kemoceng yang sekali pakai debu debu tidak akan mau menempel lagi di perabot yang dibersihkan. Terus saya mengimajinasikan bagaimana alat itu. Keras saya berpikir.
Dua puluh tahun lalu Bi Inah membantu bapa ibu saya. Waktu itu dia sangat muda. Gaya berpakaiannya nglomprot, kucel banget, antara baju dan rok kadang nggak nyambung. Bedakan tak pernah, pakai parfum apalagi. Bi Inah gadis desa yang lugu.
Ia termasuk cerdas. Mau belajar cepat dan tak malu untuk bertanya. Bagi Bi Inah, "Malu bertanya, sesat sebagai babu!' Tak musti malu dia menganggap dirinya babu. Babu bukan kata buruk, tapi profesi yang mulia. Dan layak mendapat apresiasi yang bagus. Kalau pembantunya nggak punya tabiat ngutil sih ....
Selama bekerja dengan orang tua saya, Bi Inah bersih catatan kriminalnya. Piring ibu saya tidak ada yang hilang. Celana dalam bapa tidak Bi Inah tilep. Uang, Bi Inah bukan pula seorang yang berjiwa tuyul yang suka duit. Bi Inah memang teladan. Ialah yang mengajari saya untuk jujur melebihi peran bapa ibu dalam mendidik saya.
***
Kelemahan Bi Inah cuma satu: telinganya rada eror. Pernah suatu sore, saat itu Bi Inah lagi getol belajar bahasa Inggris lewat buku pelajaran saya, begini ceritanya.
'Bi Inah,' teriak saya. 'Tolong ambilkan stoples!'
Hari Lebaran tinggal tiga hari, Cuy. Ibu saya dapat pesanan banyak kue kering. Kami masak bareng, adon kue ini itu, memanggangnya di oven, membungkusnya, nah tinggal stoples yang berada di tempat rada jauh dari saya. Apa yang Bi Inah lakukan? Ia datang pada saya telanjang dada alias topless. Apa nggak syok jaya? Saking patuhnya Bi Inah seperti itu. Tapi kami memaklumi kejadian itu. Kami bisa memaafkan.
***
17 Agustus 2000, jam 17 yang cerah, Bi Inah pamit meninggalkan kami. Serumah kami menangis seperti paduan suara. Ibu saya mewek tak jelas, bapa saya bersimbah air mata, adik adik saya memeluk Bi Inah menarik narik roknya sampai melorot tak ingin ia meninggalkan keluarga kami. Tapi, impian lain musti Bi Inah rebut: Menjadi TKI Berprestasi di Arab Saudi.
Dan sekarang sudah terbukti jika sekembali dari Negeri Onta, tanpa siksaan berat atau berujung maut, Bi Inah balik ke tanah air dan membuka usaha dan sukses!
'Lebaran nanti kami sekeluarga berkunjung ke rumah, Mas Danie. Ibu bapa ada kan?' ucap Bi Inah. Saya senang sekali.
'Bapa ibu lagi ke Afghanistan, Bi.' jawab saya.
'Ngapain? Ikut perang?'
'Ngurus bisnis senjata, Bi.' saya tertawa karena saya tak tahu usaha bapa ibu saya yang terbaru.
'Yang pasti kami hadir!' seru Bi Inah.
'Siap' jawab saya.
________________________
Follow my twitter @AndhyRomdani
Please come to my home: www.rumahdanie.blogspot.com
Post a Comment