Dulu, kalau hujan deras begini, selalu aku menghambur ke luar rumah.
Teman temanku sudah menunggu di depan rumah ayah ibuku sambil mengumbar
senyum mereka. Tidak berpayung mereka. Basah sudah baju mereka dengan
rambut yang butir butir airnya menetes menimpa wajah mereka.
'Ayo, Danie!' seru Alex sobatku bersama dua yang lain; Rina dan Soni. 'Kita main bola!'
Rina satu satunya perempuan. Ia rada tomboi tapi tetap pakai rok karena
ia berpikir wanita pakai kolor akan kena azab Allah. Kami berempat
akrab satu sama lain. Tak pernah kami cakar cakaran memperebutkan
sesuatu.
Ayah dan ibuku tak pernah melarangku untuk berhujan
ria. Mereka malah senang kalau aku ke luar rumah. Kata ayah, 'Kamu
mainlah. Ayah dan ibu main juga di rumah!'
Melesatlah aku
bersama tiga rekan kecilku ke tanah lapang. Kami bermain bola. Tidak
dengan bola betulan. Kami berempat membikin bola dari sarung ayah kami
masing masing yang dikumpulkan, disatukan dan dibulatkan hingga
membentuk bola. Kami mengikatnya dengan tali rafia warna hijau.
Uniknya, ssst .... kalian jangan mengadu pada ayah kami yang sekarang
sudah uzur, bola dari sarung itu kami namai: Kepala Ayah.
Soni berseru, 'Tendang kepala ayah!'
Rina yang paling keras berteriak, 'Kepala ayah, kepala ayah, ayo kejar!'
Berempat kami memang nakal. Tapi nakal yang tidak menjurus mencuri.
Karena kami berempat sudah bersepakat bagaimanapun juga mencuri akan
kita bikin batuk batuk. Iya, batuk sungguhan. Berbeda dengan air hujan.
Hujan teman kami.
***
Sekarang, di rumahku yang lantainya licin ini, kunanti suara bocah bocah di luar rumah. Di siang hujan ini. Dan tidak ada.
______________________________ Sumber gambar: foto.news.viva.co.id FOLLOW my twitter @AndhyRomdani
Post a Comment