Rindu Sepupuku pada Bapaknya
Tidak biasa sepupuku menampilkan isi hatinya pada orang lain. Mas Yono
biasa kupanggil dia menuliskan perasaan hatinya yang terdalam ke
Facebook. Dan ini kejutan bagiku karena aku mengenal dia sama dengan
sosok almarhum ayahnya yang berpembawaan tenang cenderung menutup rapat
rahasia. Selisih usia satu tahun, ia seolah jadi sahabatku meski kami
jarang sekali mengobrol. Kami terikat oleh darah dari kakek yang sama, nenek berbeda.
Ia bercerita tentang detik detik perpisahannya dengan ayahnya. Kubaca tuntas dan satu kata yang ada di pikiranku: GETIR. Aku tahu itu bentuk rasa kangen dan permohonan maafnya pada ayahnya. Tanpa sadar, aku larut dalam suasana tulisan dirinya. Mbrebes mili. Aku pun teringat Mak Pariyem, nenek kesayanganku yang meninggal tanpa pernah kutemui jasadnya.
Ia bercerita tentang detik detik perpisahannya dengan ayahnya. Kubaca tuntas dan satu kata yang ada di pikiranku: GETIR. Aku tahu itu bentuk rasa kangen dan permohonan maafnya pada ayahnya. Tanpa sadar, aku larut dalam suasana tulisan dirinya. Mbrebes mili. Aku pun teringat Mak Pariyem, nenek kesayanganku yang meninggal tanpa pernah kutemui jasadnya.
Cerita Mas Yono berjudul: MATUR NUWUN, GUSTI
Jam menunjukkan angka sepuluh. Sedari malam ditemani Pak Parli rewang rumah yang sudah kuanggap sebagai saudara, aku menunggui bapakku yang terbaring di ranjang menahan sakit. Bapakku yang tidak pernah mengeluh terhadap sakitnya. Ia yang tidak ingin istri anaknya mengetahui apa yang ia rasakan.
Kemarin bapakku masih segar bugar menjenguk tetangga rumah yang koma di Semarang. Pulang kemalaman, ia tidur di teras karena tidak mau membangunkan orang rumah. Kemarin pula baru saja aku antarkan bapakku melayat tetangga rumah itu. Dia berkata, "Yo ngono kuwi lho matine sing penak. Ora nyusahke anak bojo." Tapi sekarang bapakku tergolek lemah dari tadi malam. Di luar ruangan ayahku dirawat, Ibuku keluar mencari dokter yang menangani ternyata tidak bisa datang hari ini. Katanya si dokter ada piket karena SBY berkunjung ke kotaku dan akan naik kereta ke Jakarta.
Setengah sebelas, ayahku tampak diam saja. Denyutnya melemah. Aku segera mencari ibuku namun tak kutemui dirinya. Aku teringat ibuku pulang rumah mengambil baju ganti buat bapakku. Segera kujemput ibuku di rumah, kugandeng dan tancap gas menuju rumah sakit. Yang aku pikirkan sekarang biar ibuku bisa menemani bapakku untuk terakhir kali.
Sampai rumah sakit, kulihat wajah bapakku begitu tenang meski napasnya lemah. Dengan bimbingan ibuku dan Pak Parli, bapak dituntun mengucapkan kalimat syahadat. Pikiranku tak karuan, merasa belum memberi apa apa pada bapakku. Bibir bapak membuka sedikit dan terdengar embusan napas terakhir. Bapakku yang tidak mau menyakiti orang lain, yang tidak mau menyusahkan anak, tidak mau diajak pergi sekadar piknik, yang selalu mengenakan celana pendek presiden putih dan baju polos putih tidak mau warna lain. Bapakku yang selalu menyembunyikan rasa sakitnya dan hanya mau dibujuk ke dokter karena kupaksa dengan alasan aku mau menikah karena kalau bapak sakit nanti tidak bisa menunnguiku. Akhirnya ia mau. Tapi setelah sehat dan pernikahanku terlaksana, aku lupa tidak menayakan keadaan bapakku padahal kami tinggal satu rumah. Pintarnya bapakku menyembunyikan sakitnya.
Maafkan anakmu, Bapak. Aku akan kenang selalu dan laksanakan pesan terakhirmu untuk menjaga belahan hatimu yang walaupun kau sakit masih memikirkan istrimu. Matur nuwun Gusti Allah SWT. Matur nuwun.
***
Dan kepalaku jatuh tertunduk. Mengenang almarhum Pakdhe Salimin. Ayah Mas Yono.
_____________________
Sumber gambar: Setiyono Yono
Jam menunjukkan angka sepuluh. Sedari malam ditemani Pak Parli rewang rumah yang sudah kuanggap sebagai saudara, aku menunggui bapakku yang terbaring di ranjang menahan sakit. Bapakku yang tidak pernah mengeluh terhadap sakitnya. Ia yang tidak ingin istri anaknya mengetahui apa yang ia rasakan.
Kemarin bapakku masih segar bugar menjenguk tetangga rumah yang koma di Semarang. Pulang kemalaman, ia tidur di teras karena tidak mau membangunkan orang rumah. Kemarin pula baru saja aku antarkan bapakku melayat tetangga rumah itu. Dia berkata, "Yo ngono kuwi lho matine sing penak. Ora nyusahke anak bojo." Tapi sekarang bapakku tergolek lemah dari tadi malam. Di luar ruangan ayahku dirawat, Ibuku keluar mencari dokter yang menangani ternyata tidak bisa datang hari ini. Katanya si dokter ada piket karena SBY berkunjung ke kotaku dan akan naik kereta ke Jakarta.
Setengah sebelas, ayahku tampak diam saja. Denyutnya melemah. Aku segera mencari ibuku namun tak kutemui dirinya. Aku teringat ibuku pulang rumah mengambil baju ganti buat bapakku. Segera kujemput ibuku di rumah, kugandeng dan tancap gas menuju rumah sakit. Yang aku pikirkan sekarang biar ibuku bisa menemani bapakku untuk terakhir kali.
Sampai rumah sakit, kulihat wajah bapakku begitu tenang meski napasnya lemah. Dengan bimbingan ibuku dan Pak Parli, bapak dituntun mengucapkan kalimat syahadat. Pikiranku tak karuan, merasa belum memberi apa apa pada bapakku. Bibir bapak membuka sedikit dan terdengar embusan napas terakhir. Bapakku yang tidak mau menyakiti orang lain, yang tidak mau menyusahkan anak, tidak mau diajak pergi sekadar piknik, yang selalu mengenakan celana pendek presiden putih dan baju polos putih tidak mau warna lain. Bapakku yang selalu menyembunyikan rasa sakitnya dan hanya mau dibujuk ke dokter karena kupaksa dengan alasan aku mau menikah karena kalau bapak sakit nanti tidak bisa menunnguiku. Akhirnya ia mau. Tapi setelah sehat dan pernikahanku terlaksana, aku lupa tidak menayakan keadaan bapakku padahal kami tinggal satu rumah. Pintarnya bapakku menyembunyikan sakitnya.
Maafkan anakmu, Bapak. Aku akan kenang selalu dan laksanakan pesan terakhirmu untuk menjaga belahan hatimu yang walaupun kau sakit masih memikirkan istrimu. Matur nuwun Gusti Allah SWT. Matur nuwun.
***
Dan kepalaku jatuh tertunduk. Mengenang almarhum Pakdhe Salimin. Ayah Mas Yono.
_____________________
Sumber gambar: Setiyono Yono
Post a Comment