Sri Gethuk, Air Terjun Nestapa Bidadari?
Kudongakkan kepala menatap air terjun Sri Gethuk. Ia seperti air mata yang meleleh ke pipi seorang bidadari. Percik percik air yang menimpa wajah dan rambutku tak ubahnya kurasai derita si bidadari. Apakah di sini tempat turun sekaligus mangkat dirinya yang terluka karena cinta?
'Jangan lama lama, Dan!' seru Widi sahabatku. 'Masuk angin kau ntar!'
Larangan Widi jelas tak kugubris. Bersama Daru dan Toni, kami malah asyik berkecipak cipak melepaskan penat yang membekap otak dan perasaan kami selama setahun. Widi pun sibuk dengan kameranya memotret kami bertiga. Di air terjun ini, kami bersuka cita. 25 Desember yang mengasyikkan.
Kami berempat pergi ke Sri Gethuk, air terjun di Wonosari Gunung Kidul. Daru memboncengku sementara Widi bareng Toni. Berempat kami teman bersahabat sejak kecil. Duka kami bagi bersama, kesenangan milik semua. Mumpung liburan akhir tahun dan bisa kumpul bareng, kami bertamasya keliling Jogja.
***
Selepas bermain air, kami makan di sekitar objek wisata Sri Gethuk. Thiwul! Sengaja kami tak memesan nasi ayam bakar atau soto karena itu sudah sering kami cicipi. Thiwul berasal dari singkong yang dikeringkan dan warga Gunung Kidul memangsanya seperti halnya nasi. Kupakai kata "memangsa" karena Thiwul ini sangat layak menjadi asupan yang eksotis dan enak. Saat sepiring Thiwul telah sukses masuk ke perutku, bayangan tentang seorang bidadari yang menangis menyerangku.
Begini lamunanku:
Dahulu, bidadari bernama Sri turun ke Bumi. Ia memakai jilbab jaga jaga kalau waktu mendarat ada anggota FPI yang tengah merazia kesusilaan. Sri rencananya akan mempromosikan album salah satu dewa Kahyangan di Tanah Pasundan. Eh, dia kesasar. Angin membuat penerbangan Sri terganggu. Selama satu jam ia montang manting kena tiup badai. Akhirnya ia memutuskan untuk melakukan pendaratan darurat. Ia terjerembab di Gunung Kidul.
'Aih, ini daerah tandus banget. Kepalaku kena bentur tanah kapurnya! Benjol deh ....' keluh si Sri sambil merapikan jilbabnya yang melorot.
Berjalan dalam kebingungan, ia pun bertemu dengan seorang pejantan Wonosari berkulit legam berotot baja. Tutur katanya lembut melebihi para bidadara. Si cowok tahu kalau Sri kelaparan. Ia pun mengeluarkan bungkusan dari ranselnya.
'Ini buatmu!' ulur si cowok sangat gagah. Giginya putih mengilat.
'Apa ini?' tanya Sri.
'Thiwul. Gampangnya, sebut saja gethuk. Sama sama singkong kok. Makanlah.'
'Terima kasih.'
Sri lahap makan gethuk. Usai perutnya kenyang, bersendawa keras, Sri minta izin untuk menginap di rumah si cowok.
'Aduh, Jeng. Jangan! Bapak ibu saya galak. Ke rumah pak RT saja, ya?' kata si cowok yang ternyata bernama Eko Simanjuntak. Bapaknya Jawa, ibunya Batak campur Republik Demokratik Kongo.
'Oke, ndakpapa. Saya butuh tempat buat bobo.' ujar Sri menampakkan keletihannya.
Detik berganti menit, menit berubah jam, dan haripun berganti. Saking seringnya Eko dan Sri bercengkerama, tumbuh rasa ganjil dalam diri Sri. Ia jatuh cinta. Semakin kalap saja ia makan thiwul alias gethuk hingga badannya melar. Sri jadi gembrot.
'Mas Eko, aku mencintaimu!' pinta Sri memberanikan diri.
'Aku sudah mau menikah, Sri. Telat sih kamu. Besok ke KUA. Dapat orang Papua!' jawab Eko.
Hancur hati Sri. Ia berlari menuju pinggir sungai dan menangis sejadi jadinya. Hujan tiba tiba hadir seolah memberi musik pengiring kesedihan Sri. Sri Gethuk. Kilat menyambar tubuh Sri yang langsung menghilang. Ajaib, di pinggir sungai itu, muncullah air terjun Sri Gethuk.
____________________________
Mengobrol teduhlah kita di www.rumahdanie.blogspot.com
Sumber gambar: Hendricus Widi
Post a Comment