Header Ads

Cuplikan Novel ke 4--ADAM & HAWA: Ketika Mereka Bukan dari Surga---




SINOPSIS


‘Aku mau kasih ular itu buah kuldi.’ kata Hawa.
‘Buah apa itu?’ tanya Adam.
‘Inilah kuldi!’ seru Hawa sambil menunjukkannya ke Adam.
‘Apel itu, Nona Hawa ….’ kata Adam memprotes nyinyir.
Cool di tenggorokan lah. Segar. Kalau yang makan laki laki, jakunnya akan terbasuh bikin suara cemerlang. Kalau perempuan, dadanya akan hangat. Baik buat ibu ibu menyusui ….’ jelasnya menundukkan kepala.
‘Ya sudah, kita kasih ular itu buah kuldi itu!’ Adam menyuruh Hawa yang melemparkan buah kuldi ke ular kobra. Si ular menyantap antusias buah kuldi sampai habis, bersendawa, lalu ngeloyor pergi sambil mengedipkan mata genit pada Adam.
 Adam tanpa sengaja bertemu dengan Hawa di sebuah kafe dangdut. Mereka berasal dari tempat berbeda. Hawa seorang bidadari buruk muka yang terusir dari Kahyangan. Adam seorang astronot baru NASA yang tengah mencari jati dirinya.  
Takdir menyatukan mereka berdua. Ikrar cinta berkumandang. Ada satu tantangan buat Adam; meminta izin para dewa untuk mempersunting Hawa. Selain itu, Adam harus membantu membuktikan di Pengadilan Kahyangan jika Hawa bukan pengutil celana dalam para bidadari. Muluskah perjalanan cinta Adam dan Hawa?  



BAB 1: HAWA YANG TERUSIR


H

awa menggayung air bak mandi dengan enggan dan matanya bengkak oleh tangisan yang tak henti hentinya karena fitnah. Pipisnya sudah tak terasa nikmat lagi dan ia guyur banyak banyak tak peduli harga air di Kahyangan melonjak juga listrik yang mati-hidup beberapa hari ini. Odol, sabun batangan, sikat gigi, sudah pengin Hawa telan saja saking kesalnya mengapa ia jadi bulan bulanan orang seisi Kahyangan yang menuduhnya seorang pengutil celana dalam. Malapetaka itu membabi buta menyerang Hawa.
‘Tega benar itu Sarah …,’ Hawa menarik resleting celana jinsnya dengan rusuh bin mangkel. ‘Tak kusangka mulut dia kotor kaya gitu!’
‘CEPAT yang di dalam?!’ teriak sebuah suara dari luar WC. ‘Aku kebelet nih!’
Kaget dalam kesal, Hawa buru buru menyelesaikan hajatnya dan tangannya menggayuh gagang pintu dan ke luar berpapasan dengan satu bidadari bertubuh sangat langsing berkulit kuning langsat mulus yang mengumbar pusar bodongnya.
‘Oh, kamu ya si Pencuri Celana Dalam itu, ya ….’ ucap si bidadari itu sambil menahan nahan kebeletnya yang parah. ‘Beli di pasar saja murah, Non, sepuluh ribu tiga, kok repot repot ngutil ….’
Muka Hawa merah padam, seperti tomat di pasar induk, menahan amarah yang nyaris meletup namun ia redam karena itu tak akan menyelesaikan permasalahan pelik yang tengah melandanya. Percuma ia menanggapi berita miring yang jauh dari kebenaran bisa bisa ia mati muda sedangkan gelar cewek perawan masih ia sandang dengan gegap gempita. Sarahlah penyebab semua ini. Hawa yang telah menganggapnya ia seorang sahabat kental seperti ditusuk punggungnya karena perempuan itu membocorkan rahasia rahasia pribadinya.
Kisah awal perseteruan Sarah dan Hawa bermula seperti ini. Waktu itu malam minggu ke dua di bulan Februari lima hari sebelum Hari Valentine. Hawa yang baru saja memenangi Kontes Kecantikan Kahyangan gundah gulana di kamarnya yang berAC beraroma bunga kamboja khas kuburan. Ia mondar mandir menunggu SMS balasan dari Brian si cowok idola seluruh bidadari di Kahyangan. Pikirannya kacau; jongkok gelisah, kayang tak jinak, garuk garuk ketiak pun tak enak. Semua campur aduk bagaikan es campur namun buah buahnya basi. 
‘Jadi tidak sih si Aak ngajak saya jalan jalan!’ gerutu Hawa kesal sambil mencakar cakar seprai ranjang tidurnya. Ia pun mengempaskan tubuhnya dan menatap langit langit membayangkan wajah si Brian yang serius tampan sekali.
‘Tapi saya tidak PD janjian sama dia ….’ Hawa berkata seraya mengambil bantal, menutup mukanya sambil cekikian sendiri, lalu cepat cepat ia membukanya karena tak bisa bernapas alias gelagapan saking kuatnya ia menekan bantal ke wajahnya.
Ketidakpercayaan diri Hawa sangat beralasan karena sedari kecil ia mendapat cemoohan bertubi tubi dari sebayanya di Kahyangan. Hawa yang terlahir berkulit hitam, rambut ikal, betubuh bongsor menjurus gembrot, bibir super tebal, dan berpenampilan tomboi membuat ia jadi pusat perhatian berwujud ejekan yang terus terusan melayang padanya. Ini sangat kontras dengan teman temannya yang berkulit putih atau kuning langsat dan berperawakan bidadari pada umumnya yang lemah gemulai, berdandan cantik, dan berbusana moncer. Belum parfum mereka yang semerbak mewangi sampai seekor kecoa akan pingsan kejang kejang jika mereka melintas di depannya.
Satu yang membikin Hawa bertahan sampai saat ini: kejeniusannya. Ia bisa menghapal seluruh penghuni Kebun Binatang Kahyangan dan menyebutkannya dalam tempo lima detik tanpa bibir dower. Atau, Hawa mampu menyelesaikan kasus rumit Matematika di tangan kanannya bersamaan dengan menjelaskan secara detail Sejarah Jagat Raya di tangan kirinya. Inilah yang membuat warga Kahyangan sedikit mengurangi kadar mengolok olok Hawa.
TOK, TOK, TOK ….
Suara ketukan di pintu kamar mengagetkan Hawa dan imajinya cepat meluncur membayangkan si Brian telah hadir di luar akan mengajaknya berkencan makan kepiting rebus kesukaannya di warung kaki lima. Hawa terkesiap berucap: ‘Sebentar, tunggu!’ langsung melesat merapikan dirinya dan berganti pakaian yang menurutnya sangat seksi: kebaya.
Yuhu, saya sudah siap!’ ucap Hawa dengan matanya berbinar binar. Kondenya agak miring namun bisa dimaklumi secara tindakan buru buru seringkali merusak segalanya.
Pintu membuka dan SARAH lah yang ada di hadapan Hawa. Betapa kecewa hati Hawa tahu bukan lelaki idamannya yang menyambutnya. Ia pun tersadar jika sangat tidak mungkin Brian masuk ke Keputrian karena Kahyangan memisahkan kehidupan bidadara dan bidadari dengan ketat agar tidak merebak budaya Kumpul Kebo. Lagipula Brian membuat janji kencan di Taman Bunga Kahyangan. Bukan salah cinta jika Hawa mulai tak mampu mengontrol dan memilah logika dan perasaannya.  
‘Sarah, apa kabar?’ sapa Hawa sambil cemberut.
‘Baik, Wa! Aku mengunjungimu untuk kasih kamu ucapan selamat telah menang kontes!’ Sarah mengulurkan tangan kanannya dan mengocok tangan Hawa sampai tubuhnya bergetar getar.
‘Terima kasih, Sar.’ balas Hawa mempersilakan sahabatnya itu masuk ke ruang tidurnya yang masih berantakan karena akhir akhir ini gairah bersih-bersihnya meredup berganti bayangan Brian yang sungguh menguras energinya yang tiba tiba mengajaknya makan malam. 
Sarah dan Hawa duduk di selembar karpet bergambar onta Arab yang ditunggangi oleh majikannya yang berwajah sangar sambil memegang pecut di tangan kanannya. Sebelumnya Hawa menawari Sarah aneka camilan—kacang, bakwan, jadah goreng—namun ditolak halus oleh Sarah yang tengah berdiet ketat. Di antara poster biduan biduanita dangdut Indonesia, yang paling banyak gambar Bang Haji Rhoma Irama si Ksatria Berdawai, Hawa berkeluh kesah pada Sarah.
‘Sarah,’ Hawa memulai curhatnya. Ia memasukkan satu bakwan ke mulutnya, mengunyahnya buru buru seolah seekor komodo mengejarnya, dan menelan dengan ekspresi puas. ‘Aku lagi penasaran sama cowok.’
Sarah menarik badannya ke belakang dalam bola matanya memutar dan pinggulnya sedikit bergoyang. ‘Siapa itu, Wa?’
‘Aku jadi malu!’ Hawa melap mulutnya yang belepotan minyak gorengan dengan ujung lengan bajunya.
‘Katakan saja, aku sahabatmu yang siap mendengar apa isi hatimu.’ jawab Sarah tenang. ‘Cerita senang kudengar, sedih aku tak akan lari terbirit birit. Siapa cowok itu, Wa?’
Hawa terbatuk dan menata suaranya agar tidak terlalu tampak sedang dirundung kegalauan nan menekan jiwa.
‘Brian, Sar ….’ ucapnya tertunduk malu.
‘Bri … Brian .... Brian itu?!’ Sarah mengatakannya tercekat.
Hawa mengangguk pelan bersama embus angin yang masuk jendela kamarnya dan mengaburkan kertas kertas di meja tulisnya. Gadis itu hanya menoleh dan kembali menatap Sarah yang bergerak kikuk.
‘Dia bilang mau ajak aku makan malam.’ kata Hawa bersemangat.
‘Kapan, Wa?’ Nada suara Sarah parau.
‘Sekarang! Sejam yang lalu dia SMS mau ke sini. Tapi belum balas lagi setelah kutanya posisi dia di mana. Ya, mungkin masih di jalan.’ Geliat Hawa menunjukkan hatinya sangat berbunga.
‘Yakin dia tidak matre?’ Sarah berkata dengan dagunya terangkat dan matanya menyipit.
‘Dia matre?’ tanya Hawa tak percaya.
‘Yang kutahu sih begitu! Dia suka kamu karena kamu menang Kontes Kecantikan. Terus dia pengin memorot uang hadiahmu!’
‘Ah, kamu jangan menakut nakuti aku, Sar! Ini cinta pertamaku ….’
Dalam batin Sarah menggerutu, kesal, dan kecewa mengapa Brian mengajak Hawa ke luar makan malam bukan dengannya. Sudah enam bulan ia mengejar cowok idaman seluruh cewek di Kahyangan itu. Segala jurus rayuan maut, perhatian lewat telepon telah ia luncurkan namun Brian tak menangkap sinyal kasih sayang Sarah. Saking tak kuat menahan hasratnya yang menggebu, Sarah sampai berniat menyantet Brian untuk jadi pacarnya.
‘Mending cowok lain saja deh, Wa! Brian nggak cocok buatmu ….’ kata Sarah sambil menggaruk bokongnya.  
Hawa mendelik, membelalakkan mata, seolah masukan Sarah sahabatnya itu tak mendukung hatinya yang sedang menggelora. Dan, sebuah hape menyalak mengganggu obrolan dua gadis di ruangan.
‘Hapemu, Sar?’ tanya Hawa.
‘Hapemu, Wa?’tanya balik Sarah.
Mereka malah saling bertanya memastikan hape siapa yang tengah berdering. Nada sambung mereka memang sama hingga bikin bingung. Akhirnya Hawalah empunya si hape berbunyi itu dan mendapati SMS dari Brian.
Alhamdulillah,’ Hawa mengurut dadanya yang besar.  ‘Dia sudah di posisi. Aku minta pamit ya, Sar!’
‘Loh kamu kan tuan rumah?! Ya, silakan saja kalau kamu mau pergi!’ ucap ketus Sarah.
‘Aku berangkat dulu ya, Sar! Seperti biasa, tolong kunci taruh di bawah pot bunga di depan kamar!’
Hawa pun menarik jaritnya ke atas, memegangi kondenya agar tidak terjatuh, dan berlari sekencang kencangnya meluncur ke taman yang telah Brian janjikan. Sarah melihat kaburnya Hawa dengan tangan meninju ninju lantai yang menunjukkan ia sangat geram oleh keadaan saat ini. Ia MURKA.

________________
Copyright: Daniera, 2012

Tidak ada komentar