Lebaran Tanpa Ketupat
Subuh ini kupancal pedal sepedaku meluncur ke pasar. Dinginnya, kalaulah boleh kuumpat Tuhan, bikin mengerut otak. Tapi aku masih punya agama yang tak membolehkan diriku untuk tidak bersyukur. Dingin ialah tantangan untuk bangkit mengejar mentari, begitu aku menenangkan hatiku yang berontak. Roda menggelinding mengarahkanku ke keramaian pasar yang mulai berdenyut.
'Masih
sepi!' seruku sesampai pasar.
Tak banyak pedagang seperti biasa aku lewati saat pergi dan pulang kampus. Jelas, ini subuh hari yang kubatin para penjual masih berkemas di rumah. Tapi, pikirku lagi, harusnya mereka lebih bersemangat karena besok Hari Lebaran yang telah dinanti nanti. Kukesiapkan seluruh pikiranku ini, kunaikkan leher jaketku, kuparkir sepeda, dan duduk di sebuah balok beton. Kumainkan hape seperti biasa.
"Aku menanti si Paman pedagang selongsong ketupat, Sayang."
Kukirim SMS ke kekasihku. Ia belum menjawab. Pasti ia masih mendengkur dalam kurungan selimut tebalnya yang dulu kukado buatnya. Berhubungan dengan dia memang harus ekstra sabar, tidak boleh buru buru, dan setiap apa yang diucapkan harus elegan. Ia tipe manusia yang angin anginan. Dan aku harus lebih dewasa dan bijaksana.
Kutinggalkan sepedaku tanpa pernah berpikir ada seseorang yang akan mencurinya. Masuklah aku ke pasar yang para pedagangnya lesu.
'Ada apa dengan mereka?' batinku.
Seorang penjual daging ayam memukul dan memotong tanpa tenaga. Suara ketokan pisau dan telenannya tak mantap seperti biasa. Lalu, pedagang beras menggunungkan berasnya enggan.
'Woi, Ibu ibu. Bapak Bapak. Ini mau Lebaran!" seruku kencang dalam hati.
Apakah karena harga barang yang meroket bikin mereka seperti ini. Kalau aku berteriak teriak, menaikkan moral mereka, apakah nanti aku tidak dianggap pahlawan kesiangan atau Om Mario Teguh aspal? Kukelilingi pasar mencari si Paman penjual ketupat.
'Tahun lalu, ia ada di sini!' batinku sambil menggaruk garuk selakanganku yang gatal. 'Di mana dia?'
Pikiranku berkecamuk tak keruan. Sudah berkelebat bayangan mengerikan jika si paman itu digorok sindikat mafia yang akan mengacaukan Lebaran tahun ini. Teroris membunuhnya.
'Bu, Paman penjual ketupat di mana, ya?' tanyaku pada penjual tempe dan ikan.
Kuatirku sangat beralasan karena si paman penjual ketupat satu satunya yang berdagang selongsong ketupat di desa ini. Sedangkan, pasar di desa sebelah sangat jauh.
'Dia meninggal, Denmas. TBC!' jawab si ibu penjual tempe dan ikan.
Berarti, Lebaran tahun ini tak ada ketupat. Kupulang dalam langkah gontai. Hasratku memasak opor untuk kekasihku sudah meluap. Hilang sudah niatku yang menggebu gebu. Selamat jalan Paman Penjual Selongsong Ketupat. Berlebaranlah Anda di surgamu.
Tak banyak pedagang seperti biasa aku lewati saat pergi dan pulang kampus. Jelas, ini subuh hari yang kubatin para penjual masih berkemas di rumah. Tapi, pikirku lagi, harusnya mereka lebih bersemangat karena besok Hari Lebaran yang telah dinanti nanti. Kukesiapkan seluruh pikiranku ini, kunaikkan leher jaketku, kuparkir sepeda, dan duduk di sebuah balok beton. Kumainkan hape seperti biasa.
"Aku menanti si Paman pedagang selongsong ketupat, Sayang."
Kukirim SMS ke kekasihku. Ia belum menjawab. Pasti ia masih mendengkur dalam kurungan selimut tebalnya yang dulu kukado buatnya. Berhubungan dengan dia memang harus ekstra sabar, tidak boleh buru buru, dan setiap apa yang diucapkan harus elegan. Ia tipe manusia yang angin anginan. Dan aku harus lebih dewasa dan bijaksana.
Kutinggalkan sepedaku tanpa pernah berpikir ada seseorang yang akan mencurinya. Masuklah aku ke pasar yang para pedagangnya lesu.
'Ada apa dengan mereka?' batinku.
Seorang penjual daging ayam memukul dan memotong tanpa tenaga. Suara ketokan pisau dan telenannya tak mantap seperti biasa. Lalu, pedagang beras menggunungkan berasnya enggan.
'Woi, Ibu ibu. Bapak Bapak. Ini mau Lebaran!" seruku kencang dalam hati.
Apakah karena harga barang yang meroket bikin mereka seperti ini. Kalau aku berteriak teriak, menaikkan moral mereka, apakah nanti aku tidak dianggap pahlawan kesiangan atau Om Mario Teguh aspal? Kukelilingi pasar mencari si Paman penjual ketupat.
'Tahun lalu, ia ada di sini!' batinku sambil menggaruk garuk selakanganku yang gatal. 'Di mana dia?'
Pikiranku berkecamuk tak keruan. Sudah berkelebat bayangan mengerikan jika si paman itu digorok sindikat mafia yang akan mengacaukan Lebaran tahun ini. Teroris membunuhnya.
'Bu, Paman penjual ketupat di mana, ya?' tanyaku pada penjual tempe dan ikan.
Kuatirku sangat beralasan karena si paman penjual ketupat satu satunya yang berdagang selongsong ketupat di desa ini. Sedangkan, pasar di desa sebelah sangat jauh.
'Dia meninggal, Denmas. TBC!' jawab si ibu penjual tempe dan ikan.
Berarti, Lebaran tahun ini tak ada ketupat. Kupulang dalam langkah gontai. Hasratku memasak opor untuk kekasihku sudah meluap. Hilang sudah niatku yang menggebu gebu. Selamat jalan Paman Penjual Selongsong Ketupat. Berlebaranlah Anda di surgamu.
_____
Sumber gambar: mulumutu.student.umm.ac.id
Sumber gambar: mulumutu.student.umm.ac.id
Post a Comment