Yogyakarta Istimewa dan Angin Galak
Angin galak. Suaranya berisik. Yogya berubah. Bertahun tahun hujan tak begini. Sekarang, jika ada hujan, semua ketakutan. Bunyinya, berisik. Bergemuruh. Seperti akan badai, tapi tidak. Cukup untuk membuat gentar mereka yang nekat bermotor ria di jalan.
Pagi sampai siang panas. Matahari keganjenan. Pamer kekuatan. Tapi menjelang pukul tiga sore, ia melempeng. Tak berani lagi memancarkan panas. Ah, ternyata matahari kecut mental. Kalah aksi dibanding mendung. Paman mendung berkuasa di sore sampai malam hari. Merampas kuasa Rembulan. Yogya semakin menarik. Tidak hanya budayanya, tapi kejutan kejutan seperti cuaca.
Memang, di televisi dan radio, kekacauan musim tak hanya di Yogya. Di seluruh penjuru dunia. Di sana banjir, tewas puluhan orang. Salju turun tak memandang tempat sekarang. Di daerah biasa panas terik, ia serobot saja. Sama dengan manusia ternyata. Tapi, untuk ukuran Yogya, ini sungguh mengejutkan. Ya, angin galak memesona. Karena?
***
*Mahasiswa betah di dalam kos. Belajar. Berdiskusi hangat bersama teman, mengurai masalah negara. Menurut versi mereka yang sangat cair dan penuh dengan ide segar. Atau ihwal asmara? Boleh saja.
*Perajin perajin batik, yang tubuhnya dingin, menggerakkan tubuhnya biar panas. Dengan memproduksi. Meluluskan pesanan dari luar kota. Besok, uang masuk ke rekening. Untuk membeli bahan baku lagi. Dipintal, dibuat kain, berkarya.
*Dosen dosen yang bermobil, masuk rumah setelah mengajar, buru buru melanjutkan menulis buku. Melupakan sejenak kepuasan berproyek. Karena memang tugas mereka yang paling pokok adalah menulis. Bukan semata mata menumpuk kekayaan diri. Alangkah mulia mereka?
***
Yogya kita. Selalu menjadi tempat persinggahan ajaib bagi mereka yang menggemari dan memburu keindahan. Menjalin silaturahim di Yogya membinarkan aroma dan nuansa magis yang selalu dikenang sepanjang hayat. Mari, berkunjung. Badai, angin besar, hujan lebat tak menghalangi Yogya untuk terus menggeliat.
Meribut di www.andhysmarty.multiply.com
Pagi sampai siang panas. Matahari keganjenan. Pamer kekuatan. Tapi menjelang pukul tiga sore, ia melempeng. Tak berani lagi memancarkan panas. Ah, ternyata matahari kecut mental. Kalah aksi dibanding mendung. Paman mendung berkuasa di sore sampai malam hari. Merampas kuasa Rembulan. Yogya semakin menarik. Tidak hanya budayanya, tapi kejutan kejutan seperti cuaca.
Memang, di televisi dan radio, kekacauan musim tak hanya di Yogya. Di seluruh penjuru dunia. Di sana banjir, tewas puluhan orang. Salju turun tak memandang tempat sekarang. Di daerah biasa panas terik, ia serobot saja. Sama dengan manusia ternyata. Tapi, untuk ukuran Yogya, ini sungguh mengejutkan. Ya, angin galak memesona. Karena?
***
*Mahasiswa betah di dalam kos. Belajar. Berdiskusi hangat bersama teman, mengurai masalah negara. Menurut versi mereka yang sangat cair dan penuh dengan ide segar. Atau ihwal asmara? Boleh saja.
*Perajin perajin batik, yang tubuhnya dingin, menggerakkan tubuhnya biar panas. Dengan memproduksi. Meluluskan pesanan dari luar kota. Besok, uang masuk ke rekening. Untuk membeli bahan baku lagi. Dipintal, dibuat kain, berkarya.
*Dosen dosen yang bermobil, masuk rumah setelah mengajar, buru buru melanjutkan menulis buku. Melupakan sejenak kepuasan berproyek. Karena memang tugas mereka yang paling pokok adalah menulis. Bukan semata mata menumpuk kekayaan diri. Alangkah mulia mereka?
***
Yogya kita. Selalu menjadi tempat persinggahan ajaib bagi mereka yang menggemari dan memburu keindahan. Menjalin silaturahim di Yogya membinarkan aroma dan nuansa magis yang selalu dikenang sepanjang hayat. Mari, berkunjung. Badai, angin besar, hujan lebat tak menghalangi Yogya untuk terus menggeliat.
Meribut di www.andhysmarty.multiply.com
Post a Comment