Mahasiswa dan Depresi Telur Ayam
Ayam betina di pekarangan. Bertelur sembarangan, tak di kandang. Peternak membiarkan saja, tak memarahi para ayam. Karena, jika amarah meledak, besok tak ada telur yang dipunya. Tak ada uang, tak bisa membeli satu kwintal beras untuk disantap. Ayam ayam dibuat gembira. Diiringi lagu lagu Jawa yang menentramkan. Kadang, musik Sunda diputar. Menarik sekali peternakan ini.
Mahasiswa berperut kosong. Terlambat bangun, mengejar waktu ujian. Jantung bekerja kencang, keringat dingin meleleh. Mau tidak mandi, mengganggu konsentrasi. Menahan sebentar, tetap melirik kesal ke jam dinding di atas jendela. Waktu mandi padat, bersaing dengan teman teman. Apa yang musti dilakukan? Waktu tinggal 45 menit.
Meluncur ke warung burjo yang sekarang berubah menjadi warung indomie. Siap sedia 24 jam. Disambut si Aak dari kuningan, yang matanya seakan tak pernah menutup untuk tidur. Dua sebetulnya sih, berjaga bergantian. Tapi tetap saja, mereka seperti robot yang terus memburu uang. Menguras dompet para mahasiswa. Dan, si mahasiswa memesan nasi telor saja. Makan indomie di waktu sempit ini sungguh tak menimbulkan selera.
Dan telor itu berasal dari peternakan. Bersoraklah. Satu mahasiswa sudah menjadi korban. Mengapa disebut korban? Karena, seharusnya profesi peternak itu disandang oleh mahasiswa. Oh, bukan dong. Belum waktunya. Pasti, setelah selesai makan nasi telor, mandi, berangkat ke kampus, ujian, dan lulus, si mahasiswa itu merancang impian besar. Menjadi pengusaha telor. Tersukses di negeri ini.
Tidaklah bijaksana jika berpikir negatip. Karena, waktu jam dinding di atas jendela kamar mahasiswa tadi terus berputar. Mengikuti gerakan mahasiswa yang sudah kembali ke kamar, dan merangsek antrean kamar mandi. Meminta permisi karena ia sudah telat. Mengejar ujian, yang menentukan masa depan. Begitulah.
Meribut di www.andhysmarty.multiply.com
Mahasiswa berperut kosong. Terlambat bangun, mengejar waktu ujian. Jantung bekerja kencang, keringat dingin meleleh. Mau tidak mandi, mengganggu konsentrasi. Menahan sebentar, tetap melirik kesal ke jam dinding di atas jendela. Waktu mandi padat, bersaing dengan teman teman. Apa yang musti dilakukan? Waktu tinggal 45 menit.
Meluncur ke warung burjo yang sekarang berubah menjadi warung indomie. Siap sedia 24 jam. Disambut si Aak dari kuningan, yang matanya seakan tak pernah menutup untuk tidur. Dua sebetulnya sih, berjaga bergantian. Tapi tetap saja, mereka seperti robot yang terus memburu uang. Menguras dompet para mahasiswa. Dan, si mahasiswa memesan nasi telor saja. Makan indomie di waktu sempit ini sungguh tak menimbulkan selera.
Dan telor itu berasal dari peternakan. Bersoraklah. Satu mahasiswa sudah menjadi korban. Mengapa disebut korban? Karena, seharusnya profesi peternak itu disandang oleh mahasiswa. Oh, bukan dong. Belum waktunya. Pasti, setelah selesai makan nasi telor, mandi, berangkat ke kampus, ujian, dan lulus, si mahasiswa itu merancang impian besar. Menjadi pengusaha telor. Tersukses di negeri ini.
Tidaklah bijaksana jika berpikir negatip. Karena, waktu jam dinding di atas jendela kamar mahasiswa tadi terus berputar. Mengikuti gerakan mahasiswa yang sudah kembali ke kamar, dan merangsek antrean kamar mandi. Meminta permisi karena ia sudah telat. Mengejar ujian, yang menentukan masa depan. Begitulah.
Meribut di www.andhysmarty.multiply.com
Post a Comment