Bangkit (dari Kematian) Akibat Cinta
Menemukan cinta baru. Yang bukan di jalanan, atau di bawah jembatan sepi manusia. Ia datang, aku menyambutnya dengan hangat. Dimulai dengan perbincangan singkat, dengan camilan sekadarnya. Memulai, menajamkan telinga untuk mendengar sedikit cerita tentang dirinya. Dan aku terkesima. Oleh pemikirannya yang sangat dalam. Menyikapi hidup, untuk terus bersemangat di antara keterbatasan yang menjadi milik diri selamanya.
'Kau musti bersabar, Mas.'
Ia berkata kepadaku. Berbisik di tengah gerimis, yang nyaris membuatku tergetar. Tak pernahlah aku berkaca. Hidupku tak ubahnya kilat yang menerjang siapa saja yang bertentangan denganku. Ayahku, ibuku, adik adikku. Semua yang tak sesuai, aku berusaha membunuh mereka satu persatu.
'Bagaimana aku memulai untuk bersabar?'
Ia mengalihkan perhatian. Sibuk mencari pandangan lain yang bisa ia lihat. Di sekitar kami memang silih berganti orang berjalan. Juga, pengamen jalanan tak segan memohon paksa untuk meminta koin. Dan, aku tahu, ia tak ingin menginterupsi memaksaku untuk berkembang menjadi insan yang sabar. Kelak, berjalannya waktu. Di makin dekatnya hubungan kami. Ia tak menjawab.
'Mas, bagaimana kabar adik adikmu?'
'Baik.'
Aku menjawab biasa. Menutupi keadaan mereka yang aku tinggal beberapa bulan. Bersama ayah dan ibu yang tak tahu sekarang bagaimana nasib mereka.Keyakinanku, dengan kepergianku, satu masalah terpecahkan. Dan ayah ibu tinggal menyelesaikan masalah lain. Tak tega memang, tapi aku harus memilih untuk ke luar dari lingkaran mereka. Aku berjalan mencari pemecahan, ayah dan ibu juga.
'Aku mendengar kata 'baik'mu datar, Mas.'
'Esok saja aku ceritakan. Tempat ini kurang nyaman.'
Menahan cerita adalah strategiku untuk bisa terus berkomunikasi dengannya. Jika aku menggelontorkan, pada pertemuan awal kami, aku takut ia tak mampu menerimaku. Dengan segala kelemahan diriku mengurai masalah. Ah, perlahan saja. Toh, aku juga punya kewajiban untuk mendengar masalah dia. Sewaktu waktu aku siap untuk mendengar dan memberi nasihat baginya. Masukan buat dirinya.
'Sudah malam, ayo kita pulang, Dik.'
'Baik Mas. Besok kita lanjutkan lagi.'
'Kau musti bersabar, Mas.'
Ia berkata kepadaku. Berbisik di tengah gerimis, yang nyaris membuatku tergetar. Tak pernahlah aku berkaca. Hidupku tak ubahnya kilat yang menerjang siapa saja yang bertentangan denganku. Ayahku, ibuku, adik adikku. Semua yang tak sesuai, aku berusaha membunuh mereka satu persatu.
'Bagaimana aku memulai untuk bersabar?'
Ia mengalihkan perhatian. Sibuk mencari pandangan lain yang bisa ia lihat. Di sekitar kami memang silih berganti orang berjalan. Juga, pengamen jalanan tak segan memohon paksa untuk meminta koin. Dan, aku tahu, ia tak ingin menginterupsi memaksaku untuk berkembang menjadi insan yang sabar. Kelak, berjalannya waktu. Di makin dekatnya hubungan kami. Ia tak menjawab.
'Mas, bagaimana kabar adik adikmu?'
'Baik.'
Aku menjawab biasa. Menutupi keadaan mereka yang aku tinggal beberapa bulan. Bersama ayah dan ibu yang tak tahu sekarang bagaimana nasib mereka.Keyakinanku, dengan kepergianku, satu masalah terpecahkan. Dan ayah ibu tinggal menyelesaikan masalah lain. Tak tega memang, tapi aku harus memilih untuk ke luar dari lingkaran mereka. Aku berjalan mencari pemecahan, ayah dan ibu juga.
'Aku mendengar kata 'baik'mu datar, Mas.'
'Esok saja aku ceritakan. Tempat ini kurang nyaman.'
Menahan cerita adalah strategiku untuk bisa terus berkomunikasi dengannya. Jika aku menggelontorkan, pada pertemuan awal kami, aku takut ia tak mampu menerimaku. Dengan segala kelemahan diriku mengurai masalah. Ah, perlahan saja. Toh, aku juga punya kewajiban untuk mendengar masalah dia. Sewaktu waktu aku siap untuk mendengar dan memberi nasihat baginya. Masukan buat dirinya.
'Sudah malam, ayo kita pulang, Dik.'
'Baik Mas. Besok kita lanjutkan lagi.'
Post a Comment