Setelah Guru Besar itu Pergi
Berlindung di bawah ketiak ia yang telah pergi. Mencari simpati, dan menjulangkannya kembali, setelah digempur habis habisan pada Skandal Perbankan Terbesar di Abad ini. Yah, pemimpin saya merengek meminta tolong dengan cara yang teramat sopan. Sekali lagi, berlindung, tak mau menghadapi para pengobar keadilan khas jalanan, demonstrasi berbendera bendera, dan: Memohon belas kasih di depan para pelayat Pemimpin Besar kami yang lain. Inilah sandiwara sebenar benarnya kisah yang mengharu biru. Kesenangan di antara keadilan.
'Kibarkan bendera setengah tiang selama tujuh hari berturut turut.' Perintah Sang Atasan.
Kibarkan? Apakah kata itu justru mengesankan rasa senang karena satu saingan telah berhasil menghadap ke Sang Kuasa yang lain? Yang sebetul betulnya kuasa. Jika kita mengganti kata itu dengan kata pasanglah, tariklah, atau semacamnya, tentu akan lain dalam rasa, asal tidak berkesan memerintah lagi cenderung memaksa.
Apa yang tampak dan terlihat. Ada sebagian yang mengibarkan bendera, dan tak jarang pula yang tak menuruti perintah sang Pemerintah. Hoho, Guru Bangsa macam apa yang diberi penghormatan itu. Atau, penganugerahan gelar itu bisa mengesiapkan sekian persen para pencemburu jasa jasa besar orang itu.
Lalu, beredar rumor yang sangat kampungan: Guru Bangsa dibunuh oleh Sang Atasan.
Macam Negeri apa ini? Selalu, hiburan menyertai setiap tindak tanduk kami. Hingar bingar dan penuh sensasi. Apapun itu.
Di sana, di tempat Guru Bangsa dikuburkan, banyak para peziarah menerbitkan doa bagi si Idola mereka. Dan tanah tanah dikeramatkan. Di ujung negeri lain, cemooh membahana, berkata itu adalah kurafat yang mengeluarkan akidah dari jiwa para pencari berkah. Dan kafirlah mereka, begitu teriak sang fundamentalis, yang dijuluki oleh teman yang lain. Kacau, semua saling menuduh. Dan, memang negeri kami berkembang begitu cepat. Arus sangat kencang. Stop dahulu, harus merumuskan ulang setelah ditinggal pergi oleh ia yang diberi gelar Guru Bangsa.
Bagaimana kelanjutan bangsa ini setelah Gurunya tiada?
Semoga tetap baik baik saja.
Tak ada yang meledak. Karena itu tidak baik bagi kemashlahatan umat. Pak Kyai berkata demikian.
Dan, kita juga akan melihat sang atasan akan berlaku seperti apa?
Post a Comment