Lelucon dari sang Manajer
Menjadi pintar saja serasa tak cukup. Tanpa uang, Anda bagai nelayan tanpa solar. Mesin motor macet, berada di tengah laut lepas dikepung kawanan ikan hiu. Beberapa pilihan dapat diambil; diam, mencebur dan pura pura menjadi hiu, atau menulis diari curhat habis habisan. Tentunya lebih enak jika Anda di rumah bermain HP blackberry bukan?
Ini cerita sebenar benarnya. Kawanku adalah tetua di penerbit terkenal di negeri ini. Idealismenya top tak terkalahkan, pintar, berkarakter, dan anti suap. Wanita mana yang tak jatuh hati padanya. Pekerjaan di bank ternama tak lekas membuat ia nyaman. Keluar dengan alasan riba, haram, neraka, dan segenap alasan lain. Masuk akal memang. Hari berganti karena detik, ia menjelma menjadi manajer. Ya tak penting menceritakan kisah petualangannya, toh negeri ini hanya butuh cerita bernada dasar E Menor. Ia sukses berkat kepandaiannya.
Bahagiakah ia dengan keluarganya sekarang?
Tidak. Dari catatan harian yang ia umbar, dengan harapan memberi inspirasi, atau untung untung diterbitkan oleh penerbit tempat ia memimpin, tentu dengan nama samaran, betapa nama dia sungguh jernih tanpa cela, sang manajer kawanku merindukan taman, rumah layak, mobil, dan semua semua yang kini disesalinya. Aku meraba otaknya, 'Andai aku masih kerja di bank.' yang ini dan yang itu. Penyesalan memang terus menghantui para pemain Kethoprak bernama manusia.
Aku belajar. Haruskah diriku seperti dia? Yang menyesal di masa tua. Tanpa atau belum juga menulis buku. Padahal ia manajer.
Aku masih punya harapan.
Biar dia dulu mencelaku, tapi aku berhasil mencuri ilmu dari dia, tak hanya buku buku.
Terus kucari keseimbangan itu. Pintar, atau cerdas, bersanding dengan kekayaan. Seperti mempelai bersama amplop amplop sumbangan. Menyatu dalam suka saja, tanpa derita.
Trims atas lelucon yang kau berikan, sang Manajer
Ini cerita sebenar benarnya. Kawanku adalah tetua di penerbit terkenal di negeri ini. Idealismenya top tak terkalahkan, pintar, berkarakter, dan anti suap. Wanita mana yang tak jatuh hati padanya. Pekerjaan di bank ternama tak lekas membuat ia nyaman. Keluar dengan alasan riba, haram, neraka, dan segenap alasan lain. Masuk akal memang. Hari berganti karena detik, ia menjelma menjadi manajer. Ya tak penting menceritakan kisah petualangannya, toh negeri ini hanya butuh cerita bernada dasar E Menor. Ia sukses berkat kepandaiannya.
Bahagiakah ia dengan keluarganya sekarang?
Tidak. Dari catatan harian yang ia umbar, dengan harapan memberi inspirasi, atau untung untung diterbitkan oleh penerbit tempat ia memimpin, tentu dengan nama samaran, betapa nama dia sungguh jernih tanpa cela, sang manajer kawanku merindukan taman, rumah layak, mobil, dan semua semua yang kini disesalinya. Aku meraba otaknya, 'Andai aku masih kerja di bank.' yang ini dan yang itu. Penyesalan memang terus menghantui para pemain Kethoprak bernama manusia.
Aku belajar. Haruskah diriku seperti dia? Yang menyesal di masa tua. Tanpa atau belum juga menulis buku. Padahal ia manajer.
Aku masih punya harapan.
Biar dia dulu mencelaku, tapi aku berhasil mencuri ilmu dari dia, tak hanya buku buku.
Terus kucari keseimbangan itu. Pintar, atau cerdas, bersanding dengan kekayaan. Seperti mempelai bersama amplop amplop sumbangan. Menyatu dalam suka saja, tanpa derita.
Trims atas lelucon yang kau berikan, sang Manajer
Post a Comment