Kolusi Sengkuni dan Buta Terung Perempuan Mengkudeta Arjuna
Sebuah kolusi antara Sengkuni dan Buta berbadan besar. Mereka merancang sebuah skenario untuk melengserkan si Arjuna. Kerajaan harus ditaklukkan bagaimana pun caranya. Harus ditempuh!
"Bang Sengkuni, sudah siapkah Kakanda?"
"Pasti, Buta Terung Perempuan. Kereta kencana dengan meriam di atasnya sudah di depan rumah."
"Rencana A yang akan kita lakukan bukan?"
"Apapun itu. Paling penting, Arjuna si Buruk Muka harus disingkirkan. Dimatikan."
Emosi menggelegak. Dua insan yang mencandu kekuasaan telah bersepakat, membuat perhitungan. Dendam sebulan lalu saat perang Candu di Palagan Ambarawa memuncak. Harus diletuskan.
Dulu mereka kalah persenjataan dan strategi. Pasukan Arjuna lebih cerdik, mereka membuat perhitungan dengan mengepung. Sungguh amarah Sengkuni dan Buta Perempuan meloncat. Licik, tak bermain jantan. Pantas saja, si Arjuna selalu bertindak klemak-klemek, seperti siput yang tak punya daya untuk berjalan.
Si Arjuna tengah berpesta arak. Minuman lezat dari seluruh penjuru negeri ditenggak habis oleh seluruh tamu. Dewi-dewi berseliweran menemani para tamu. Senyum disunggingkan, suasana hati merekah bersama-sama. Kerajaan yang sangat gemah ripah loh jinawi.
"Hai Dewi nomor 12. Ke mari! Aku butuh pijit di bagian dengkulku!" Perintah si Arjuna.
Langkah cepat dengan jangkauan beberapa, dewi tanpa bernomor punggung itu mendekati Tuannya. Melakukan tugas.
"Sudah. Cukup enak. Kamu segera temani tamu ganteng dari Negeri Paskibraka."
"Baik, Tuanku."
Hingga larut malam. Pesta berlangsung meriah. Ada tarian, lawakan, goyangan maut, dan yang tak kalah pentingnya: Pengajian Akbar. Menceritakan dongeng para pejuang pada zaman lalu yang telah wafat. Mereka sangat perwira, tak ada yang mereka pikirkan selain bangsa. Masalah pribadi dikesiapkan. Umat adalah yang utama. Pasti dengan bumbu konyol, tak mungkin disampaikan dengan gaya para filsuf dari Negeri Romawi dan Yunani.
Kereta kencana bermeriam menyusuri jalan menuju sasaran. Dua kuda terengah-engah, merasakan cambukan si sais. Udara malam menekan, Sengkuni dan Buta Perempuan menggigil. Kecut hati mereka, tapi tetap ingin menunaikan tugas. Nanti, di jarak sekitar 100 meter, kerajaan si Arjuna akan mereka tembak. Pasti seluruh isinya akan mati. Hilang sudah emosi yang terpendam.
"Bang Sengkuni, sudah siapkah Kakanda?"
"Pasti, Buta Terung Perempuan. Kereta kencana dengan meriam di atasnya sudah di depan rumah."
"Rencana A yang akan kita lakukan bukan?"
"Apapun itu. Paling penting, Arjuna si Buruk Muka harus disingkirkan. Dimatikan."
Emosi menggelegak. Dua insan yang mencandu kekuasaan telah bersepakat, membuat perhitungan. Dendam sebulan lalu saat perang Candu di Palagan Ambarawa memuncak. Harus diletuskan.
Dulu mereka kalah persenjataan dan strategi. Pasukan Arjuna lebih cerdik, mereka membuat perhitungan dengan mengepung. Sungguh amarah Sengkuni dan Buta Perempuan meloncat. Licik, tak bermain jantan. Pantas saja, si Arjuna selalu bertindak klemak-klemek, seperti siput yang tak punya daya untuk berjalan.
Si Arjuna tengah berpesta arak. Minuman lezat dari seluruh penjuru negeri ditenggak habis oleh seluruh tamu. Dewi-dewi berseliweran menemani para tamu. Senyum disunggingkan, suasana hati merekah bersama-sama. Kerajaan yang sangat gemah ripah loh jinawi.
"Hai Dewi nomor 12. Ke mari! Aku butuh pijit di bagian dengkulku!" Perintah si Arjuna.
Langkah cepat dengan jangkauan beberapa, dewi tanpa bernomor punggung itu mendekati Tuannya. Melakukan tugas.
"Sudah. Cukup enak. Kamu segera temani tamu ganteng dari Negeri Paskibraka."
"Baik, Tuanku."
Hingga larut malam. Pesta berlangsung meriah. Ada tarian, lawakan, goyangan maut, dan yang tak kalah pentingnya: Pengajian Akbar. Menceritakan dongeng para pejuang pada zaman lalu yang telah wafat. Mereka sangat perwira, tak ada yang mereka pikirkan selain bangsa. Masalah pribadi dikesiapkan. Umat adalah yang utama. Pasti dengan bumbu konyol, tak mungkin disampaikan dengan gaya para filsuf dari Negeri Romawi dan Yunani.
Kereta kencana bermeriam menyusuri jalan menuju sasaran. Dua kuda terengah-engah, merasakan cambukan si sais. Udara malam menekan, Sengkuni dan Buta Perempuan menggigil. Kecut hati mereka, tapi tetap ingin menunaikan tugas. Nanti, di jarak sekitar 100 meter, kerajaan si Arjuna akan mereka tembak. Pasti seluruh isinya akan mati. Hilang sudah emosi yang terpendam.
Post a Comment