Puasaku yang Tidak Ikhlas!
Tidak peduli masalah pahala yang akan kuraih, aku berpuasa apa adanya. Tak spesial! Semua kulakukan hanya sebatas menahan lapar dan haus. Makan enak di subuh buta, makin ganas saat kentong langgar dipukul-pukul oleh para kyai tua. Aku tak merasakan getaran-getaran bulan suci yang pernah kurasakan di waktu kecil. Sungguh memalukan di saat renta akan menjemputku.
Kugoyang gas motor kerenku. Kupacu biar lekas sampai di rumah. Isteriku pasti sudah menyiapkan makanan pemacu adreanalinku. Rasanya sepanjang perjalanan air liurku sudah menetes entah berapa liter. Oh, pasti sehabis maghrib aku akan terpuaskan. Aku merindukan masa itu. Selepas kegiatan rutinku, aku langsung tertidur karena kekenyangan. isteriku tak pernah menuntutku untuk berangkat tarawih. Alangkah moderatnya pujaan hatiku itu.
Tak kusangka tak kuduga. Ternyata, musuhku ada di jalanan juga. Bukan musuh sesungguhnya memang, tapi mereka yang mengendarai mobil dan motor dengan amat kencangnya. Emosiku naik ke ubun-ubun mendengar deru kenalpot kendaraan mereka. Ingin rasanya aku menantang mereka untuk beradu kecepatan. Tapi sungguh sayang, terlanjur emosiku teralihkan oleh kemacetan di perempatan jalan.
Kulihat pak Polisi sudah kewalahan dengan situasi buruk ini. Tangan kanannya sudah lunglai, tangan kirinya juga tak mampu mengangkat pentungan dengan tepat. Matanya nanar melihat ganasnya perilaku para pengendara. Semua berebut ingin cepat sampai rumah, termasuk aku. Saling serobot yang penting tepat bedug maghrib pipi sang isteri berhasil diraih. Aku emosi sekali, aku harus nomor satu mencicipi kesegaran awal Ramadhan ini.
Bergerak perlahan, seperti kereta api usang zaman kolonial, aku menahan diri untuk tidak semakin meletup amarahku. Aku takut penyakit darah tinggiku menyerangku kembali. Pasti ini akan merepotkan isteriku. Tapi sudahlah, peluang kekosongan di sisi kiri jalan membuatku tak peduli kesehatanku. Kutarik gas dan berzig-zag untuk lepas dari cengkeraman gaib kemacetan ini.
Berhasil, aku meninggalkan para musuhku yang terlihat kalap dan bersungut-sungut.
"Isteriku, aku datang!" teriakku sepanjang jalan.
Kugoyang gas motor kerenku. Kupacu biar lekas sampai di rumah. Isteriku pasti sudah menyiapkan makanan pemacu adreanalinku. Rasanya sepanjang perjalanan air liurku sudah menetes entah berapa liter. Oh, pasti sehabis maghrib aku akan terpuaskan. Aku merindukan masa itu. Selepas kegiatan rutinku, aku langsung tertidur karena kekenyangan. isteriku tak pernah menuntutku untuk berangkat tarawih. Alangkah moderatnya pujaan hatiku itu.
Tak kusangka tak kuduga. Ternyata, musuhku ada di jalanan juga. Bukan musuh sesungguhnya memang, tapi mereka yang mengendarai mobil dan motor dengan amat kencangnya. Emosiku naik ke ubun-ubun mendengar deru kenalpot kendaraan mereka. Ingin rasanya aku menantang mereka untuk beradu kecepatan. Tapi sungguh sayang, terlanjur emosiku teralihkan oleh kemacetan di perempatan jalan.
Kulihat pak Polisi sudah kewalahan dengan situasi buruk ini. Tangan kanannya sudah lunglai, tangan kirinya juga tak mampu mengangkat pentungan dengan tepat. Matanya nanar melihat ganasnya perilaku para pengendara. Semua berebut ingin cepat sampai rumah, termasuk aku. Saling serobot yang penting tepat bedug maghrib pipi sang isteri berhasil diraih. Aku emosi sekali, aku harus nomor satu mencicipi kesegaran awal Ramadhan ini.
Bergerak perlahan, seperti kereta api usang zaman kolonial, aku menahan diri untuk tidak semakin meletup amarahku. Aku takut penyakit darah tinggiku menyerangku kembali. Pasti ini akan merepotkan isteriku. Tapi sudahlah, peluang kekosongan di sisi kiri jalan membuatku tak peduli kesehatanku. Kutarik gas dan berzig-zag untuk lepas dari cengkeraman gaib kemacetan ini.
Berhasil, aku meninggalkan para musuhku yang terlihat kalap dan bersungut-sungut.
"Isteriku, aku datang!" teriakku sepanjang jalan.
Selamat berbuka, Tuan Editor. Buka saja semuanya.
BalasHapusWuihh ... aku bukan editor. Aku si Burung Camar.
BalasHapusYa sudah, berbukalah dengan panggang burung camar.
BalasHapus